Sebagaimana ahli psikologi, ahli seni dan ahli forensik bisa memprediksi sifat dan tokoh di balik perbuatan dan karya kreasi, maka Ulil albab membaca sifat Allah dari ciptaan dan perbuatanNya di samping pengajaran langsung dari Allah melalui Al Qur'an dan Muhammad.
Semesta seluruhnya hadir sebagai bentuk dari sifat-sifat Tuhan. Tapi itu belum cukup. Sifat Maha Pengampun dan Maha Pemaaf belum mengambil bentuk. Maka Dia ciptakan manusia yang mampu bersalah, meminta maaf, dan bertobat. Manusia beradaptasi dan belajar dari kegagalan, kesalahan, dan keraguan. Ini adalah mekanisme ilahiah. Sains dan teknologi lahir dari itu semua.
Adalah benar bahwa mahluk hidup memiliki kemampuan beradaptasi. Tapi itu adaptasi yang terbatas. Terbatas kepada daya dukung genetik, daya dukung rantai makanan, daya dukung fisiologis dan metabolisme, daya dukung fungsionalitas organ dan sistem organ, daya dukung kecerdasan, dan daya dukung kesadaran. Adaptasi itu juga bukan adaptasi tanpa batas. Seleksi alam secara frontal menolak hadirnya adaptasi tanpa batas. Adaptasi yang paling cocok dengan kebutuhan alam saja yang diterima.
Adalah benar bahwa segala sesuatu termasuk mahluk hidup dirakit atau diassembly dari unsur, komponen, dan sistem yang sudah ada sebelumnya. Tapi alam yang efisien menolak proses assembly yang random. Ini yang terjadi yang diterima alam adalah assembly yang terarah. Suatu assembly yang mempunyai kegunaan atau purpose baik itu atas tuntutan seleksi alam, tuntutan kesadaran, maupun tuntutan rantai makanan. Purpose yang dasar yang disyaratkan alam adalah tercapainya utilitas tertinggi dan terbaik yang mungkin bisa dicapai dengan efisiensi serendah mungkin. Alam tidak mengizinkan kemubaziran.
Alam seolah-olah berkesadaran, padahal yang berkesadaran adalah Tuhan. Alam tidak pernah menceritakan dirinya dan tidak pernah pula mensifati dirinya. Tuhan lah yang menceritakan diriNya dan mensifati diriNya.Â
Manusia sebagai makhluk dan hamba hanya bisa menerima kehendak, kuasa, ilmu dan ketetapan dari Allah. Mereka tidak bisa berhadapan secara frontal dengan sifat dan wujud Allah. Karenanya manusia sangat bergantung kepada kasih sayang, belas kasihan, kemurahan dan kedermawanan, keadilan dan kelembutan Allah saja.
Manusia mencatat kejadian dan fenomena, menguji catatannya itu, dan mengembangkannya sebatas itu dimungkinkan oleh kehendak, kuasa, ilmu, dan ketetapan Allah.
Perhatikan bagaimana Allah hadir dalam sains yang berkaitan dengan nasib manusia.
Ketika Allah menghendaki seseorang jadi orang kaya, maka Allah beri petunjuk kepada hatinya untuk bergerak melakukan ini dan itu, memutuskan ini dan itu, serta mengambil ini dan menghindari itu. Semua itu tampak oleh sains sebagai parameter sukses. Padahal ketika ada seseorang lain yang tidak dikehendakiNya menempuh jalan serupa, maka parameter itu tidak ada dicapai secara sempurna.
Begitulah cara kita membaca sains.
Ketika ada entitas luput dari maut, sains bilang itu survival. Padahal itu tidak berarti di lain waktu ketika ajalnya sudah tiba.