Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kita Tidak Lagi Menyebut Allah Dalam Literatur dan Narasi Sains

24 Maret 2024   02:55 Diperbarui: 10 Mei 2024   00:22 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sains dan Teknologi dalam Kesadaran Spiritual

Jika ada gadget baru 99 % casing dan hardwarenya sama dengan versi lama, tapi memiliki efisiensi dan kinerjanya 10^12 lebih tinggi dan lebih baik, maka kita tau bahwa kekuatan gadget tersebut ada pada software dan OS.

14 juta tahun evolusi simpanse tidak menghasilkan apa-apa, bandingkan dengan 100 ribu tahun evolusi manusia, 10 ribu tahun evolusi peradaban, 1 ribu tahun evolusi metode ilmiah, dan 100 tahun evolusi peradaban modern ini.

Secara rasional kita mengerti bahwa kekuatan manusia ada pada software dan OS-nya. Inilah pembeda utama antara manusia dengan spesies homo lainnya, dengan primata, dan dengan semua mamalia.

Nyata sekali bahwa software dan operating systemnya manusia tersebut bukan hasil evolusi. Dia tampaknya tertanam begitu saja.
Mencari eksistensi software ini melalui lokus otak, lipatan otak, gelombang otak, ataupun jaringan syaraf, jadi seperti anak kecil mencari bukti aplikasi android dari bentuk casing, hdd, ram, dan psu. Tidak bodoh tapi kekanakan.

Otak manusia baik volume otak, lokus otak, gelombang otak, dan sistem jaringan syarafnya cuma beda sebelas duabelas dengan simpanse. 14 juta tahun evolusi simpanse, mereka baru bisa sebatas belajar menggunakan tongkat. Padahal seratus tahun ini saja manusia sudah berhasil membentuk ratusan cabang olahraga, ratusan genre musik, jutaan game komputer dan ribuan bahasa.

Kesulitan kita selama sekian dekade menciptakan komputer kuantum seharusnya membuat kita sadar bahwa transformasi dari informasi kuantum menjadi informasi deterministik tidak terjadi secara serta merta begitu saja. Mengarahkan sistem probabilistik kepada sistem deterministik membutuhkan suatu kecerdasan yang lebih besar daripada kecerdasan yang dihasilkannya. Membuat entitas yang mampu bekerja secara paripurna dengan segala kelebihan kemampuannya yang hampir sempurna butuh kerja-kerja kolosal untuk menghasilkannya.

Hal yang sama juga berlaku pada reaktor fusi nuklir yang hampir satu abad belum juga matang yang mana ini seharusnya membawa kesadaran bahwa transformasi energi pun tidak terjadi begitu saja. Reaksi fisika dan kimia yang tampaknya sangat sederhana ternyata membutuhkan effort yang luar biasa untuk menjadi teknologi yang nyata dan memberikan utilitas tinggi.

Kesenjangan tingkat kecepatan perkembangan teknologi robot dengan teknologi AI juga kaitannya dengan studi kesadaran membawa kita kepada kesadaran bahwa integrasi antara sistem fisik dengan sistem intelegensi dan sistem kesadaran tidak terjadi serta merta begitu saja. Integrasi sistem kesadaran, sistem kecerdasan, dan sistem fisik harus sinkron dan kompatibel satu sama lain agar dicapai utilitas tertinggi. Upaya membangun itu membutuhkan kuasa, kehendak, dan ilmu yang luar biasa besar.

Begitulah cara kita memandang sains dan teknologi. Segala sesuatunya membutuhkan blueprint cerdas untuk mencapai utilitas tertinggi.

Hadirnya kita manusia sebagai sistem biologis, sistem kimia, sistem fisika, sistem matematika, sistem informasi, sistem kecerdasan, dan sistem kesadaran tertinggi, terkompleks, dan terakhir di semesta ini adalah hasil dari kuasa, kehendak, dan ilmu yang maha besar. Itulah Tuhan. Tapi kini bahkan kita tidak lagi menyebut nama Tuhan dalam literatur dan narasi sains kita. Tidak sebagai subjek aktif dalam sains dan teknologi yang membuka tabir khazanah ilmu kepada manusia. Tidak sebagai subjek yang mengajarkan sains kepada manusia dengan perantaraan kalam dan qolam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun