Kemarahan punya jejak, baik di jalanan dalam bentuk demonstrasi maupun di layar ponsel melalui media sosial. Ada komentar, unggahan, siaran langsung, dan video singkat (reels). Dan kita harus jujur mengakui hal itu.
Di sana, emosi kita tak sekadar meletup, emosi kita dihitung, dipetakan, dan perlahan diarahkan. Kita merasa sedang bersuara, padahal bisa jadi ada algoritma digital yang sedang menyimak lebih telaten daripada pejabat mana pun.
Beberapa bulan terakhir ini, masyarakat Indonesia seperti diajak bermain tebak-tebakan. Harga pajak naik di tempat yang tidak masuk akal, barang mendadak langka saat paling dibutuhkan, dan berita yang datang bersilang membuat suasana terasa tumpang tindih.
Hari ini soal pajak, besok soal bahan bakar oplosan, lusa tentang fasilitas pejabat. Media sosial menjadi tempat melampiaskan rasa, marah yang beranak-pinak di kolom komentar.
Di sanalah algoritma tumbuh subur, melahap kata-kata kita dan mengeluarkan saran yang tampak rapi dan sistematis. Algoritma itu seperti memberi tahu kapan isu perlu didorong, tagar apa yang harus diangkat, dan di mana kemarahan bisa mudah disulut.
Fenomena Sosial
Kita mendengar istilah "cipta kondisi" yang sering disebutkan dalam obrolan masyarakat, baik di diskusi publik, warung kopi maupun di ruang digital. Entah benar, entah tidak, yang jelas ritmenya terasa. Ada pengumuman kenaikan harga, kelangkaan barang, ucapan pejabat yang memancing emosi, kebijakan yang saling bertabrakan, hingga kabar penjarahan rumah yang ramai dibicarakan di grup sosial media.
Semua menyatu jadi kabut yang pekat. Setiap potongan kabar memantik satu pertanyaan yang sama. Mengapa selalu ada saja alasan untuk membuat warganya gelisah, marah?
Pada saat yang sama, platform seperti tidak pernah tidur. Setiap unggahan marah menggambar peta. Jam-jam ramai, kota-kota yang sensitif, kata kunci yang paling memantik balasan.
Dari sana lahirlah semacam koreografi yang tidak kasat mata. Ada hipotesis bahwa gelombang kecil di satu kota dijadikan percobaan lebih dulu, hasilnya diukur, lalu pola itu ditiru di tempat lain dengan sedikit penyesuaian. Narasi terselubung, poster seragam, ritme yang serupa. Seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menabuh drum dari kejauhan.
Kita tidak sedang membuktikan teori, kita sedang mencatat rasa. Rasa bahwa kemarahan hari ini lebih rapi dari yang kita kenal.