Sebuah pengakuan diam-diam, dan ruang tafsir untuk rasa yang datang di waktu yang salah.
Setelah saya unggah esai "Kenapa Cinta yang Salah Lebih Bucin," seseorang mengirim pesan. Panjang. Pelan. Penuh jeda. Tapi terasa jujur.
Berikut cuplikan isi pesannya, saya tampilkan dengan izinnya:
"Satu pesan yang membuat saya berhenti menulis, dan mulai mendengarkan."
Ia tidak membela diri. Tidak juga menyalahkan siapa pun. Tapi di balik kalimat-kalimat curhat itu, saya menemukan satu suara yang jarang terdengar: perempuan yang pernah selingkuh, dan tidak sepenuhnya menyesalinya.
Tulisan ini bukan untuk menghakimi. Juga bukan untuk membenarkan. Tapi untuk memahami, bahwa ada banyak rasa di balik pilihan yang tampak salah.
"Aku Pernah Selingkuh. Dan Anehya, Aku Nggak Nyesel."
Begitu salah satu kalimat yang ia kirimkan. Dan jujur saja, saya terdiam cukup lama saat membacanya.
Ia tidak sedang beralasan. Tidak membanggakan perselingkuhannya. Tapi ia ingin jujur.
"Waktu itu aku merasa kayak benda, Kak. Ada, tapi nggak dilihat. Di rumah semuanya terasa hampa. Semua datar. Tapi waktu dia datang, aku ngerasa dilihat lagi, dianggap lagi."