Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Love

Kenapa Bertahan, Padahal Sudah Disakiti?

6 Juli 2025   08:36 Diperbarui: 6 Juli 2025   08:36 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kenapa Bertahan, Padahal Sudah Disakiti? (Sumber: pexels.com/edit_canva.com)

(Seri "Tafsir Rasa" - Esai Kesembilanbelas)

Catatan: Tafsir Rasa bukan ditulis untuk menghakimi siapa pun. Ini bukan sekadar kisah sedih, melainkan latihan jujur pada rasa yang sering kita simpan, tapi enggan kita hadapi. Karena sebelum melepaskan, kita butuh ruang untuk memeluk apa yang dulu pernah membuat kita memilih tetap tinggal, meski sebenarnya hati sudah ingin pergi.

Kamu tahu ini menyakitkan. Tapi kamu tetap bertahan dalam hubungan. Mungkin bukan karena cinta, tapi karena belum berani kehilangan.

Dr. Patrick Carnes, pakar perilaku adiktif, menyebut ikatan seperti ini sebagai trauma bonding: kondisi batin ketika seseorang justru merasa terikat pada orang yang menyakitinya karena siklus disakiti dan diberi harapan, yang terasa seperti disayang.

Saat Logika Tak Bisa Menyelamatkan Hati

Kamu sadar dia menyakitimu. Tapi entah kenapa, kamu tetap bertahan.
Bukan karena kamu bodoh. Tapi karena ada kecewa yang belum selesai, di dalam dirimu sendiri.

Logika dan teman mungkin sudah berkata "pergi saja." Tapi hatimu masih terbelenggu menanti satu kata atau pesan darinya, seolah itulah yang membuktikan kamu masih layak dicintai.

Di sinilah trauma bonding bekerja diam-diam. Menurut Dr. Patrick Carnes, ini terbentuk lewat siklus luka hati, penurunan harga diri, dan kemudian sedikit harapan yang datang tanpa diduga.

Attachment Project bahkan memetakan perjalanan trauma bonding ke dalam 7 tahap:

  1. Love Bombing : dia tampil sangat manis, pujian dan perhatian berlebihan.
  2. Trust & Dependency : kamu mulai percaya dan bergantung.
  3. Criticism & Devaluation : pujian berubah jadi kritik; kamu jadi merasa selalu salah.
  4. Gaslighting : kamu dibuat ragu dengan rasa dan ingatanmu.
  5. Resignation & Giving Up : kamu menyerah dan berhenti berontak.
  6. Loss of Self : kehilangan diri sendiri, yang tersisa hanya "aku padanya".
  7. Emotional Addiction : rasa sakit dan harapan jadi candu yang sulit dilepas

Kamu tahu ini tidak sehat. Tapi kamu juga takut kehilangan satu-satunya orang yang bikin kamu betah bertahan, meski tahu itu nyakitin.
Dan ketika logika tak lagi cukup untuk menyelamatkan hati, kamu pun diam-diam mulai terbiasa menyimpan luka, seolah itu cara paling aman untuk bertahan, padahal luka yang disimpan justru semakin dalam dan sulit dilepaskan.

Luka yang Sudah Terbiasa Diterima

Kamu bilang kamu mau pergi. Sudah kamu coba. Tapi nyatanya, satu pesan darinya saja... cukup untuk menarikmu kembali. Sudah memblokir, sudah bilang "cukup," sudah menangis dalam diam. Tapi satu pesan darinya, yang isinya cuma "kamu apa kabar?" dan kamu kembali terseret ke tempat yang sama: menunggu, berharap, lalu kecewa lagi.

Kamu tahu ini menyakitkan. Tapi tubuh dan hatimu sudah terlatih untuk menoleransi luka. Kamu menyebutnya kesabaran, padahal yang kamu lakukan adalah bertahan dengan rasa sakit yang kamu normalisasi sendiri.

Kamu hanya terlalu sering menunda kebenaran. Karena mengakuinya berarti harus kehilangan ilusi yang dulu kamu perjuangkan mati-matian. Dan kehilangan itu... terasa seperti kehilangan bagian dari dirimu sendiri. Dan itu yang paling menakutkan.

Saat Gaslighting Menghapus Keyakinan Diri

Setiap kali dia marah, kamu bilang dia cuma lelah.
Setiap kali dia diam berhari-hari, kamu menyalahkan dirimu sendiri.
Pelan-pelan, kamu mulai percaya bahwa semua ini memang salahmu, padahal tidak.

Gaslighting bekerja seperti kabut: ia menghapus garis antara luka dan logika.
Kamu tak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang manipulasi.
Kamu ragu dengan apa yang kamu rasakan, bahkan mulai takut dengan kebenaran yang muncul dari dalam dirimu sendiri.

Dan saat naluri kehilangan suara, kamu jadi asing pada dirimu sendiri.
Padahal naluri itulah yang selama ini ingin menyelamatkanmu, bukan menjauhkanmu dari cinta, tapi dari kehancuran yang kamu tak sadari sedang kamu normalisasi.

Cinta yang Datang dari Rasa Takut

Kadang kamu berpikir, "tapi dia juga punya sisi baik." Iya, dan justru itu yang membuatmu makin terikat. Ketika luka dan manis datang bergantian, kamu mulai kecanduan pada harapan. Rasa perih diselingi sedikit kasih sayang, cukup untuk membuatmu terus berharap.

Menurut psikologi, ini disebut intermittent reinforcement, ketika hadiah atau cinta diberikan secara tidak menentu, otak justru semakin terikat. Seperti mesin slot, kamu tak tahu kapan harapan akan datang. Tapi kamu terus menarik tuas, berharap sekali waktu akan dapat yang kamu tunggu.

Di tengah pola ini, trauma bonding semakin menguat. Kamu tidak tinggal karena cinta semata. Tapi karena sudah terjebak dalam dinamika luka hati yang membuatmu bingung membedakan kasih dan kekuasaan.

Kita tumbuh di dunia yang memuliakan ketahanan, bukan kejujuran pada batin sendiri. Budaya kita bilang, "kalau cinta itu harus sabar dan bertahan."
Tapi tak ada yang bilang bagaimana kalau 'bertahan' justru menghancurkan dirimu perlahan.

Tapi Kenapa Tidak Berontak dari Awal?

Karena rasa bersalah lebih dulu ditanamkan sebelum keberanian bisa tumbuh. Karena sejak awal, suara hatimu dipelintir, dipatahkan, lalu dilabeli "kamu terlalu drama," "kamu terlalu sensitif," atau "semua ini demi kita."

Banyak penyintas hubungan toksik tidak langsung berontak, bukan karena lemah, tapi karena jati dirinya perlahan-lahan terkikis. Bukan oleh teriakan, tapi oleh diam yang berulang, kritik samar, dan kasih sayang yang datang lalu hilang. Kehilangan perlahan ini membuatmu tak sadar sedang dilukai, karena bentuknya tidak terlihat, tapi terasa.

Luka hati tidak datang sekaligus. Ia datang dalam bentuk perhatian sesaat, lalu kritik samar, lalu kasih sayang yang dicabut tiba-tiba. Dan di sela-sela itu, ada kalimat yang membuatmu bertahan: "Aku juga sayang kamu. Tapi kamu yang terlalu banyak tuntutan."

Takut Lepas Bukan Berarti Masih Cinta

Mungkin itu kenapa kamu masih bertahan. Bukan karena kamu cinta. Tapi karena kamu takut: Takut sendiri. Takut tidak dicintai lagi. Takut dianggap gagal. Dan yang paling pahit, takut mengakui bahwa kamu sudah terlalu lama mengabaikan dirimu sendiri.

Rasa takut itu nyata. Tapi pelan-pelan, kamu mulai belajar bahwa bertahan juga bisa menyakiti. Bertahan tidak selalu berarti kuat. Dan pergi tidak selalu berarti kalah. Karena kadang, satu-satunya cara menyelamatkan cinta... adalah dengan mencintai dirimu sendiri duluan.

Kamu Juga Berhak Pulih

Kamu boleh masih cinta. Tapi kamu juga berhak untuk pulih. Sembuh dari luka hati.

Karena mencintai seseorang tidak harus berarti meninggalkan diri sendiri.
Karena pulih hati bukan berarti membenci, tapi akhirnya memahami batas antara ketulusan dan pengorbanan yang menyakiti.

Dan jika suatu hari kamu berhasil berjalan pergi tanpa membawa dendam, hanya dengan sedikit luka yang sudah kamu kenali dan rawat, itu artinya kamu tidak kalah.
Kamu sedang kembali... kepada dirimu yang dulu kamu tinggalkan demi cinta yang tidak kembali.

Kamu tidak harus sembuh total hari ini. Tapi kamu layak untuk mulai hari ini. Tanpa harus merasa bersalah.

Semoga ada yang bisa dipetik dari cerita ini.
Salam Literasi,
Sanana, 11 Muharam 1447 H / 06 Juli 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun