Dia mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, langit menyampaikan salam yang mesra kepada semua burung, karena di dalam udara, kulihat juga waktu menyusun tubuhnya dari pasir dan debu jalanan yang ditebari bunga-bunga.
Dia memandang wajahnya pada cermin yang retak, seperti mencuri pandang wajah para dewa dalam mimpi, mengagumi bayangannya pada bias air yang pecah oleh melodi sungai yang mengalir dari jantung matahari.
Pertemuan di masa depan adalah teka-teki dari sisa-sisa kabut malam, lalu rahasia dibisikkan pada waktu yang berkhianat, ketika matahari berlari di punggung kuda-kuda putih, dan gemanya menggema sampai ke relung-relung hati.
Dia adalah rindu yang tidak mencari rumah, adalah bayangan yang jatuh dari cahaya yang lelah, adalah puisi yang tak pernah selesai ditulis, tapi selalu terbaca di langit yang senja.
Jika suatu hari angin membawanya ke laut, aku ingin menjadi ombak yang tak ingin menghapus jejak kakinya, hanya ingin tahu bahwa ia pernah ada di sana, meninggalkan jejaknya di pasir waktu.
Dan jika malam terlalu sunyi untuknya, aku ingin menjadi langit yang tetap menggenggam bintang-bintangnya, sekalipun bintang itu tak pernah menyadari keberadaan langit yang selalu menunggunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI