Mendekatlah kemari kawan kuberitahu sesuatu, Inilah ironi Kota yang memberikan secercah harapan padaku, kota yang juga nyaris membunuhku. Dua tahun lalu aku datang dengan ekspektasi yang tinggi berharap bisa membalikkan cerita dari masa lalu dan berteman dengan orang-orangnya ironisnya aku malah terjebak dalam situasi yang sulit, aku membenci  kota misterius yang memberikan harapan tapi aku menemukan cinta yang tidak biasa di kota ini. Ramah dan ceria orang-orangnya tapi bisa juga membunuh tanpa menyentuh.Â
Jangan pernah mati ketika kau melewati jalanan di kota ini kawan nyawamu tidak berharga bagi kami, yang berharga bagi kami adalah bisa menjadi wartawan gadungan dari hasil jepretan kamera kami. Kami adalah orang-orang edan, hidup kami diatur oleh teknologi tapi cobalah datang dan tengoklah sendiri masih sama  seperti orang-orang primitif.Â
Praktek lancung ini sudah bertekun bertahun-tahun tapi pemerintah kami tampak loyo belaka. Banyak orang-orangnya yang pintar setiap saat menggelar demonstrasi di jalanan berdebu meneriakkan kebodohan dan kemiskinan kami ini lebih  seperti orang-orang yang ada di kota metropolitan namun ini adalah perbedaan antara Diliput media dan luput dari perhatian media.Â
Tidak lama lagi negeri ini sudah berusia 76 tahun namun kota harapan ini masih tetap sama seperti awal kemerdekaan. Ini seperti baru ingin belajar untuk merdeka, punah diatas menghamba. Mau belajar merdeka atau merdeka belajar untuk mencetak generasi penerus untuk bersaing dengan orang-orang di kota metropolitan?Â
Kau memberi harapan kepada orang-orang tetapi mereka membunuh harapanmu. Kau adalah bintang, hanya perlu menyeka debu dan kau akan bersinar. Kau memberikan harapan dan cinta ironisnya mereka tidak tahu jalan menuju logikamu untuk membuatmu bersinar.Â