Kurikulum Merdeka yang mulai diterapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo mengundang polemik pro dan kontra di masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah seorang siswa/siswi akan tetap naik kelas atau lulus ke jenjang berikutnya tanpa adanya evaluasi penilaian yang objektif bahwa siswa/siswi tersebut layak untuk naik ke jenjang berikutnya. Selain itu, permasalahan lain yang muncul adalah mengenai minimnya literasi dan numerasi di kalangan siswa/siswi di sekolah akibat Kurikulum Merdeka yang diberlakukan saat itu. Padahal, hal tersebut hanya berdampak tidak langsung, namun, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi minimnya literasi di Indonesia. Kurikulum Merdeka telah dirancang untuk dapat meningkatkan literasi membaca maupun digital untuk para siswa/siswi. Akan tetapi, terdapat beberapa tantangan yang sebenarnya menghambat efektivitas Kurikulum Merdeka tersebut, yaitu kesiapan guru, kualitas materi bacaan, peran lingkungan dan teknologi, dan minimnya prasarana dan sarana, yang di mana semua hal tersebut yang seharusnya menjadi fokus pemerintah untuk dapat membenahi fondasi sistem kurikulum yang ada di Indonesia.Â
Saat ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terbagi tiga kementerian sejak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek), serta Kementerian Kebudayaan. Kemendikdasmen yang dipimpin oleh Abdul Mu'ti melakukan 5 kebijakan saat ini, yaitu Tes Kemampuan Akademik (TKA) menggantikan Ujian Nasional (UN), penerapan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), kehadiran koding-Artificial Intelligence (AI) menjadi mata pelajaran pilihan di SD-SMA, menghidupkan kembali penjurusan SMA yakni IPA, IPS, dan Bahasa, dan pengurangan bobot mata pelajaran di setiap jenjang dari SD, SMP, dan SMA.Â
Salah satu kebijakan kontroversial yang viral di masyarakat saat ini, yaitu sistem penjurusan SMA yang terdiri dari IPA, IPS, dan Bahasa. Alasan Abdul Mu'ti mengembalikan sistem penjurusan di SMA karena TKA yang menggantikan UN akan berbasis mata pelajaran, menurutnya, kebijakan tersebut akan menjadi lebih mudah untuk mengarahkan siswa/siswi sesuai dengan kuliah yang dituju. Namun, inti permasalahannya adalah TKA menjadi alat bantu evaluasi siswa/siswi yang fleksibel dan tidak wajib, sehingga mengubah seluruh arah pendidikan. Apabila, TKA merupakan alat bantu wajib untuk para siswa/siswi sebagai syarat kelulusan/naik kelas maka haruslah TKA tersebut lebih adaptif untuk kebutuhan belajar, eksplorasi, adaptasi, dan bertumbuh. Sebaliknya, jika TKA bukan menjadi alat bantu wajib maka harus memiliki alur sistem yang jelas dan transparan untuk siswa/siswi yang tidak melaksanakan tes tersebut.Â
Akibat ketidakjelasan wajib dan tidak wajibnya TKA tersebut maka penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa terlihat seperti solusi cepat dari pemerintah untuk meredam kekhawatiran para orang tua siswa/siswi. Konsekuensi dari kebijakan tersebut akan membatasi masa eksplorasi siswa/siswi dengan penjurusan dan pada akhirnya memaksakan siswa/siswi untuk menentukan keputusan jalur hidupnya. Keputusan untuk memilih penjurusan bisa disebabkan oleh gengsi, tekanan orang tua, dan FOMO, sehingga siswa/siswi memilih jurusan bukan berdasarkan pemahaman minat dan bakat mereka. Kemudian, jika kita membahas situasi pekerjaan di dunia nyata, terkadang suatu pekerjaan tidak hanya fokus terhadap sains, namun adanya pemahaman sosial atau ekonomi juga yang diperlukan. Contohnya, Benjamin Franklin, seorang penemu listrik statis ternyata juga perancang sistem politik-ekonomi Amerika.Â
Secara ideal, penjurusan seharusnya menjadi pembimbing dengan memberikan arah bagi siswa/siswi sesuai minat, bakat, dan tujuan mereka tetapi secara fakta, penjurusan menjadi pagar pembatas bagi siswa/siswi. Di SMA, penjurusan seharusnya menjadi pengatur jalur akademik tetapi penjurusan dianggap sebagai pembentuk hierarki sosial oleh masyarakat. Contohnya, jurusan IPA mendapatkan label untuk golongan anak rajin dan cerdas, sedangkan jurusan IPS mendapatkan label untuk golongan cadangan atau siswa/siswi yang tidak memahami atau menguasai mata pelajaran di jurusan IPA. Masalah ini membuat siswa/siswi tidak nyaman belajar karena adanya stigma sosial di sistem penjurusan, sehingga ada identitas sosial yang harus dibela dan memungkinkan bersifat berkelanjutan hingga dewasa.
Indonesia saat ini berdasarkan skor PISA (Program for International Student Assessment) tahun 2022 dapat dikatakan mengalami minim literasi dan numerasi bahkan menjadi paling terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.Â
Angka penurunan di tahun 2022 ini jika berdasarkan konsep fase-fase perbaikan sistem pendidikan menurut McKinsey maka Indonesia berada di posisi poor to fair. Alasan pendidikan Indonesia berada di posisi tersebut karena poin matematika, sains, dan membaca selama 16 tahun berada di bawah 400 poin.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah khususnya Kemendikdasmen meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi siswa/siswi agar menjadi fondasi yang kuat. Tanpa fondasi yang kuat, maka penjurusan itu akan menjadi empty specialization. Siswa/siswi mungkin terlihat spesialis di atas kertas tetapi kehilangan bekal paling dasar untuk berpikir, belajar, dan beradaptasi akibat penjurusan tersebut akan membatasi siswa/siswi untuk bisa mengeksplorasi disiplin ilmu lain yang sebenarnya dapat mengasah spesialisasi siswa/siswi  terhadap minat, jurusan kuliah, serta jenjang karir mereka.
"Masa muda itu bukanlah masalah mempercepat pilihan tetapi lebih kepada memberi ruang untuk bertumbuh, beradaptasi, dan eksplorasi."