Jang Agus bukannya tidak pernah bermimpi untuk memiliki seorang isteri yang masih perawan tingting, dan berparas cantik untuk dipersuntingnya. Akan tetapi apalah daya. Sebagaimana peribahasa yang berbunyi : Hasrat hati memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai, sepertinya demikian juga dengan yang dirasa seorang pemuda desa yang satu ini.Â
Bisa jadi yang jadi sebab-musababnya selain faktor ekonomi keluarganya yang termasuk kategori berada di bawah garis kemiskinan, juga rasa rendah diri sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, atawa difabel merupakan beban penghalangnya selama ini.
Terlebih lagi banyak orang di sekitarnya begitu gemar membully, atawa paling tidak suka memandang rendah terhadap dirinya. Bahkan teman dekatnya saja yang ia percaya memiliki kesetiakawanan yang mumpuni, saat sedang duduk-duduk di tepi jalan desa di suatu sore yang cerah, walaupun tidak secara langsung merendahkannya, tapi ternyata bibir dan gestur tubuhnya tampak jelas mencibir terhadap pujian yang terlontar secara spontan dari mulut Jang Agus ketika di depan mereka berdua lewat seorang gadis kembang desa.Â
"Duh, cantiknya! Betapa bahagianya seorang pria yang mampu mempersunting kembang desa kita ini," ujarnya sambil tatapannya tak lepas dari langkah gadis itu hingga lenyap di mulut gang.
"Kamu naksir juga, Gus?" tanya kawannya seraya menatap tajam mata Jang Agus.
Tatapan dan bibir kawannya itu, langsung membuat Jang Agus tak bernafsu lagi untuk membuka mulutnya. Ia menunduk  dalam gundah-gulana yang menyergap seketika.Â
Namun terlepas dari rasa rendah dirinya yang menjadi-jadi, ternyata diam-diam Jang Agus memiliki kelebihan yang sebenarnya boleh dibanggakannya juga. Selain memang rajin dan tekun bekerja, Jang Agus pun begitu piawainya memainkan alat musik kecapi.Â
Hanya saja karena alat musik yang satu ini berupa alat musik tradisional, dan cenderung lebih banyak digunakan untuk mengiringi kawih (lagu) daerah saja, sehingga peminat, atawa penggemarnya pun sedikit sekali.Â
Sebagaimana yang terjadi dewasa ini, Â jangankan masyarakat di perkotaan, di pelosok desa pun kebanyakan orang lebih menyukai musik modern, mulai dari dangdut sampai musik heavy metal mancanegara - sekalipun liriknya sama sekali tidak mereka tahu apa artinya.
 Sementara musik tradisional, bisa jadi hanya digemari oleh para seniman, atawa mereka yang masih bersungguh-sungguh ingin melestarikan seni dan budaya warisan nenek moyangnya saja.
Sebagaimana yang dialami Jang Agus sendiri. Sepertinya hanya ada seorang saja yang selalu memuji kepiawaian dirinya. Bahkan setiap pujian yang dilontarkan penikmat petikan kecapinya itu dirasakan Jang Agus merupakan pujian yang tulus, tanpa ada pamrih sama sekali.Â
Sungguh. setiap kali mendengar pujian dari penggemarnya yang hanya satu orang itu, hati Jang Agus selalu berbunga-bunga. Sehingga membuatnya kian bersemangat saja saat penggemarnya itu mengajukan request beberapa kawih lawas yang menjadi pavoritnya.
Mungkin sejak tadi pembaca menebak-nebak, siapa penggemar petikan kecapi Jang Agus tersebut. Iya kan?Â
Bukan, bukan janda tua sebagaimana yang  tertera pada judul postingan ini kok, melainkan seorang lelaki tua, penyadap nira yang konon menurut pengakuan lelaki tua itu sendiri, ketika di masa mudanya adalah penabuh gamelan yang mengiringi pertunjukan wayang golek.Â
Bisa jadi karena pergaulannya dengan lelaki tua itu juga yang hampir saban sore menyambangi rumah Jang Agus, membuat pergaulan keduanya pun tampaknya semakin akrab saja.Â
Bahkan sepertinya Jang Agus pun seringkali mencurahkan isi hatinya, dan meminta nasihat dari lelaki tua tersebut. Termasuk pada suatu sore, tanpa sungkan lagi Jang Agus mengutarakan hasrat hatinya untuk segera mendapatkan jodoh yang akan menjadi pendamping hidupnya.
"Kira-kira masih ada perempuan yang bersedia menjadi istri saya yang cacat dan miskin ini, Bah?"Â
Mendengar pertanyaan Jang Agus, lelaki tua itu, sebut saja Abah Ican, malah tergelak. Akan tetapi sama sekali tidak bermaksud mengejeknya, atawa paling tidak mentertawakan pertanyaan anak muda yang duduk di depannya, melainkan merasa geli  dan lucu saja atas pertanyaan seorang pemuda yang dalam usianya sekarang ini sudah seharusnya menimang  bayi darah-dagingnya sendiri.
"Kenapa malah ketawa, Bah?" tanya Jang AgusÂ
"Jang Agus... Jang Agus... Â Di dunia ini tak pernah ada lelaki tidak laku, atawa jomblo. Kecuali kalau memang lelaki itu sendiri tidak punya niat yang sungguh-sungguh, ceritanya akan lain lagi. Percayalah. Bagaimana pun keadaannya, yang penting punya sarat dan sirit pasti akan ketemu jodohnya."
"Apa maksudnya sarat dan sirit itu?"Â
"Sarat adalah maskawin untuk calon pengantin wanita, ditambah lagi dengan biaya nikah yang dibayarkan kepada penghulu. Adapun sirit (bahasa Sunda yang artinya alat kelamin pria) sudah pasti menjadi sarat mutlak. Mana ada perempuan yang dan calon mertua yang sudi punya calon menantu nya ternyata tidak memiliki sirit. Iya kan?"
"Tapi saya kan orang miskin, cacat anggota badan lagi. Selama ini juga saya merasa tak pernah ada seorang gadis pun yang mau melirik sedikitpun sama saya..." keluh Jang Agus dengan wajah yang penuh iba.
"Salah sendiri. Kenapa cuma gadis saja yang mau dijadikan calon istrinya? Padahal menurut Abah, mendingan sama janda saja. Pokoknya yang penting perempuan itu sayang dan setia kepada kita. Terlebih lagi kalau janda kan sudah berpengalaman..." Bah Ican menyodorkan pendapatnya.
"Yaaahhh... Janda! Tidak ada upah disunatnya kalau sama janda mah, Bah!"
"Lho daripada tak ada rotan...?"Â
"Memang benar juga. Kalau dipikir-pikir daripada mengharap gadis yang cuma datang dalam mimpi, apa boleh buat, boleh juga tuh janda juga, Bah. Eh. tapi rasanya sama saja. Tak seorang pun gadis dan janda yang memperhatikan saya, Bah!"
"Ah, siapa bilang? Abah tahu kok. Selama ini diam-diam ada seorang perempuan yang suka bertanya-tanya sama abah tentang dirimu, Jang!"
Jang Agus menatap wajah Bah Ican. Seperti merasa tidak percaya dengan yang tadi dikatakannya. Bahkan dianggapnya cuma lelucon saja. Tak lebih hanya sekedar angin surga belaka. Akan tetapi tak lama kemudian tak urung juga Jang Agus ahirnya membuka mulutnya walaupun masih bernada keraguan dalam getar suaranya.
"Yang benar, Bah? Sepertinya Abah cuma ngarang saja ah..."
"Ujang tahu Si Minah?" tanya Bah Ican seraya menatap penuh kesungguhan.
"Hah? Teh Minah???"
"Iya Minah, anak Mang Soma, tetangga Abah. Saban pulang dari sini dia selalu bertanya-tanya tentang dirimu. Sepertinya dia ada hati terhadapmu, Jang..." Bah Ican tak melanjutkan kata-katanya, lantaran Jang Agus yang duduk di depannya tiba-tiba saja jatuh terkulai...
Pingsan, ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI