Mohon tunggu...
ARIF ROHMAN SALEH
ARIF ROHMAN SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Capung-capung nan Genit

27 Oktober 2020   10:51 Diperbarui: 27 Oktober 2020   11:07 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Briam Cute. Pixabay.com

Agha, bulu matanya lentik, daun telinganya seperti Cupid. Pinter ngomong, selalu ada bahan untuk dibicarakan. Agis, yang paling mungil, alis matanya kalau hampir menyatu, gemesin bagi yang melihatnya.

Hendri, rambutnya yang “jegrak” selalu membayangkan jagoan “Mohawk”. Apalagi bibirnya nan tipis mungil, pingin nyubit saja. Sem, si pendiam, diajak ngomong hanya senyum. Sekali jawab, hanya kata “Ya’ dan “Tidak” yang sering ke luar. Tak lebih, tak kurang.

Empat sekawan anak-anak barter “barat terminal” ini, kuumpamakan capung-capung. Keempatnya gesit-gesit. Gampang muncul. Gampang menghilang jika sudah main di beranda rumah. Tingkah mereka genit-genit. Ada saja yang diomongin. Ada saja yang dimainin. Ada saja yang diminta.

Nah, kalau sudah meminta sesuatu, tingkah genit mereka minta ampun. Mereka akan duduk di lantai beranda. Berderet seperti hulubalang dari negeri antah berantah. Menghadap sang maharaja. Coba bayangkan.

Yang paling membuatku kadang gak nahan, pandang mata mereka yang bening. Duh, mata bening nan polos. Sangat memancarkan suatu harapan yang dirindukan dunia anak-anak. Capung-capung yang semula lincah bergerak, diam menatap penuh harap di depan sang maharaja. Rasanya, pingin nyubit pipi mereka yang montok-montok.

***

Agha, anak semata wayangku yang umur tujuh tahun, jam satu siang tadi dijemput kawanan capung genit. Mereka minta ijin bermain di sekitar musholla yang letaknya tiga gang dari rumahku. Berhubung hari libur, sudah makan dan sempat tidur siang, aku ijinkan. Namun, azan Asar sudah harus di rumah. Begitu pesanku.

Capung-capung genit itu sangat senang. Spontan memancal sepeda masing-masing penuh semangat menuju musholla. Hingga, sepi kembali terlelap di beranda.

Detak jam dinding kurasakan seperti benturan-benturan ombak ke tebing-tebing curam. Jarum jam menunjukkan angka tiga sore hari. Sepi memagut, menunggu capung-capung nan genit yang tak jua muncul.

Bukan hanya sepi yang kurasa. Menunggu dan menunggu, selalu menjengkelkan. Bahkan pikiran-pikiran yang bukan-bukan mulai gentayangan menghantui, di sore yang pengap ini.

Pikiran jangan-jangan terjadi sesuatu. Jangan-jangan bermain ke terminal yang ramai kendaraan. Jangan-jangan sudah sampai di jembatan sungai yang cukup dalam. Betul-betul menjelma hantu menakutkan dalam pikiranku.

Terus terang, aku mulai tak tenang. Berita penculikan anak di koran dan media lokal ikut menari-nari di pelupuk mata. Ah, jangan-jangan semakin kuat mendengung di dalam telinga. Aku tak kuat lagi. Maka, aku segera berdiri. Mengunci pintu rumah dan pagar. Menjemput bola. Mencari capung-capung nan genit. Meninggalkan istriku yang masih lelap.

***

Langkahku seperti tentara menuju palagan perang. Genderang “jangan-jangan” terus terngiang-ngiang. Belum lagi bisikan-bisikan hasut dari setan-setan yang usil, tiba-tiba muncul di telinga kiri. Setan-setan yang menghembuskan pikiran agar aku bertindak tegas pada capung-capung nan genit.

Ya, aku mulai terpengaruh bisikan setan. Dalam pikiranku, mulai muncul andai-andai. Jika seandainya kutemukan capung-capung nan genit itu, maka akan aku bentak-bentak mereka. Cukupkah? Belum cukup, kata setan. Jikapun perlu, semua akan kucubit, bisa jadi kujewer telinganya sampai memerah.

Sore yang pengap. Jalanan untuk sampai ke musholla terasa panas. Matahari masih nampak menyombongkan kekuatannya. Membuatku semakin lebih dalam termakan bisikan-bisikan setan. Tangankupun mulai mengepal. Bergetar hebat.

Sesampai di musholla, sepi. Tak kutemukan capung-capung nan genit. Hatiku berkobar-kobar. Amarah seakan menumpuk dan menggumpal. Di mana gerangan capung-capung nan genit?...

***

Aku tancap gas. Kakiku bergegas melangkah. Terminal, tujuan pertama yang harus aku tuju. Tempat terdekat yang memungkinkan capung-capung lepas kendali. Terbang liar menuruti nafsu mereka. Pikirku.

Selepas belok dari gang musholla, sayup-sayup kudengar celotehan capung-capung nan genit. Mata semakin awas. Telinga semakin tajam. Aku berhenti di tengah jalan. Di terik sengat matahari yang sudah agak condong ke barat.

Gang sebelah musholla, capung-capung bermunculan. Mereka tertawa-tertawa. Entah apa yang ditertawakan. Amarahku meluap. Ingin rasanya kujewer mereka. Tapi, hati kecilku berkata “Jangan!”,

“Hei, Agha! Dari mana saja? Mulai tadi ayah mencari. Ayah khan sudah bilang, azan Ashar segera pulang!”

“Nunggu Zaky. Masih mandi, Yah”

Jawab Agha pendek, sedang capung yang lain tancap gas menuju ke rumah dengan wajah riang. Aku hanya bisa diam dan berdiri. Merasakan sengat matahari yang masih cukup ganas menggoreng tubuhku.

***

Sesampai di beranda rumah, aku segera duduk di dipan. Sengaja pintu rumah tidak segera kubuka. Aku pandangi capung-capung nan genit satu-persatu. Seperti pandangan sang maharaja ke para bawahannya.

Capung-capung nan genit duduk di lantai berjajar. Kalau sudah posisi ini yang mereka pamerkan, pasti ada yang mereka pinta dariku.

“Apa ya?” Pikirku mengingat dan mengingat.

Ah, baru aku ingat. Kemarin sore aku menjanjikan mereka membuatkan mainan pesawat dari kertas. Pantas saja mereka duduk berjajar. Duduk seperti biasanya jika ada sesuatu yang diharapkan dariku.

Bergegas aku membuka kunci rumah dan menuju ruang kerja. Kucari kertas-kertas bekas, namun tak kutemukan. Adanya setengah rim kertas folio yang masih polos atau kosong tanpa tulisan dan coretan apapun.

“Ah, biarlah kertas-kertas kosong ini aku berikan. Toh, hanya lima lembar” Gumamku.

“Ini yang kalian inginkan. Ya, khan?” tanyaku sambil menunjukkan kertas-kertas kosong.

“Yeyyy…” Serempak mereka bersuara senang.

***

Satu-persatu, capung-capung nan genit aku buatkan pesawat kertas. Hanya Sem yang membuat sendiri, yang lain belum bisa. Akhirnya, lima pesawat kertas ada di tangan capung-capung nan genit.

“Ayo anak-anak, mainnya cukup di halaman rumah ini”

“Kalau main di rumah Zaky, Om?” Tanya Agis. Berharap.

“Gak boleh. Sebentar lagi sore. Silahkan terbangkan pesawat kalian sampai jam empat sore. Setelah itu kalian pulang untuk mandi. Paham?”

Capung-capung nan genit hanya mengangguk. Lantas, berhamburan ke halaman. Suara-suara centil mereka berbaur dengan suara-suara burung emprit dan kutilang yang mulai bertengger di pohon-pohon sekitar halaman rumah.

Sore begitu terasa cepat datang. Capung-capung nan genit seakan tak pernah lelah menerbangkan pesawat-pesawat kertasnya. Menerbangkan dunia bermainnya. Dunia anak-anak yang riang gembira.

Malam ini, kulihat Agha tertidur pulas. Ada senyum yang ia sungging. Senyum mimpi indah. Mungkin mimpi tentang bagaimana menerbangkan pesawat impiannya. Bukan lagi pesawat kertas mainannya.

***

Sampai di sini, aku tuliskan puisi. Untuk capung-capung nan genit.   

Mencari capung-capung dengan tangan gemetaran. Adalah ketakutan yang menghantui. Bersekutu dengan bayangan. Menguak celah, di mana ada setan. Tahu khan kau, apa itu setan? Bisiknya…

Capung-capung beterbangan mendekatiku. Menari-nari dan menertawakan pikiran mereka. Sedang aku? Mematung di jemuran matahari. Terpanggang semburan-semburan hasutan. Akankah mencipta peluh amarah? Tidak! Jawabku.

Mereka, capung-capung nan genit. Wajahnya imut-imut. Mampu membuatku tak bergigi. Saat di istanaku duduk rapi. Pasti ada janji, yang aku lupa, gumamku…

Aku beranjak ke ruang ilmu. Membuka jendela dunia, yang masih kosong. Lalu kekosongan aku berikan pada capung-capung. Bukan untuk membodohi. Melainkan, melukisnya dengan dunia mereka.

O… betapa dunia penuh warna-warna. Capung-capung menerbangkan dunia mereka. Di atas kekosongan-kekosongan yang mereka main-mainkan. Menantang keangkuhan matahari. Menari dan menari tiada henti.

Lalu… Matahari malu-malu. Lari dan sembunyi. Kulihat, capung-capung. Kembali ke dunia mimpi.


Probolinggo, 25.10.2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun