Ruang pengap. Sinar matahari tak langsung menembus ruang. Bau yang menyengat, bercampur anyir darah. Entah darah apa dan siapa. Entah dari ruang apa dan yang mana.
Hitam dan gelap. Masih menutup penglihatan Brata. Perih masih terasa di pelipis kiri yang luka. Terasa berlipat perihnya, dibebat kencang kain hitam si tentara NICA.
Terdengar derak jeruji besi penjara pelan terbuka. Ada beberapa derap langkah. BRUAKKK!!!!.... tubuh Brata terjengkang membentur dinding tembok. Dia tak mampu berkutik apalagi berontak. Tangannya yang kerempeng tak lagi kekar tertindih kursi. Kakinya lemah setelah sekian kali dipopor sangkur dan ujung sepatu.
Brata tetap tegar. Tak sedikitpun bibirnya bergetar. Tak sedikitpun wajahnya meringis kesakitan. Bahkan, ia tersenyum, meski terasa kering di lidah.
"Kamu orang belum mau buka itu mulut?!" bentak tentara NICA.
Brata tetap diam. Telinganya sudah ia tulikan. Andaipun ia dengar bentakan yang menghentak itu, ia tak mau tahu. Brata tak peduli.
"Kurang ajar kamu orang. Ditanya cuma diam!"
Masih dalam posisi tubuh terjengkang. Tangan dan kaki terikat di kursi pesakitan. Brata berusaha menengadah, yang ia lihat tetaplah gelap. Lalu ia pun bicara dalam hati,"Pengecut!.... beraninya hanya membentak di depan orang tak berdaya!"
"Hey ekstrimis.... Ini pertanyaan terakhir! Di mana tempat itu sembunyi pasukan Macan Hitam hee....?!"
Dengan mata masih tertutup kain hitam, Brata menatap garang. Senyumnya ia perlebar. Tak sedikitpun bentakan dan ancaman meruntuhkan pendiriannya. Di hatinya sudah tertanam,"Lebih baik mati daripada jadi pengkhianat bangsa dan negara!"
Suasana hening. Hanya sesekali terdengar erangan kesakitan dari ruang lain. Entah dari ruang yang mana. Brata hanya sekilas mengingat, ia digelandang ke ruang penjara bawah tanah yang redup dan pengap.