Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Jenderal Hoegeng, Polisi Jujur Kesayangan Gus Dur

19 Juni 2020   10:36 Diperbarui: 19 Juni 2020   10:46 2342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenderal Hoegeng I Illustrasi : posbekasi.com

“Tampil dalam sosok bersahaja, tetapi selalu mampu memancarkan martabat  yang tinggi”- Jacob Oetama, tentang Jenderal Hoegeng

Gara-gara Isu 'penangkapan' seorang pria di Maluku Utara yang mengunggah humor Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur, saya jadi terkenang dengan sosok Hoegeng, yang disebut dalam humor tersebut.

Lelucon Gus Dur itu selengkapnya bertulis demikian 'Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: Patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng'.

Gus Dur beberapa kali menyebut pria bernama lengkap Hoegeng Imam Santoso sebagai kerabat dan juga sahabat.

Catatan sejarah menunjukan bahwa saat Gus Dur menjadi Presiden, pada Juli 2001, Gus Dur menyempatkan diri untuk mengunjungi Hoegeng di kediamannya, di Depok, Jawa Barat dan berdiskusi tentang apa yang mesti dibenahi di tubuh kepolisian.


Sebagai seorang negarawan dan juga guru bangsa, Gus Dur tidak sembarang memilih teman bertukar pikiran. Mesti seseorang yang berkarakter dan berintegritas dan Hoegeng memang sepanjang hidupnya dikenal menghidupi arti integritas, kejujuran dan hidup yang bersahaja.

Sayang, selang tiga tahun kemudian (Juli 2004) sesudah pertemuannya dengan Gus Dur itu, di usia 83 tahun, Hoegeng menghembuskan nafas terakhirnya, Hoegeng dikabarkan meninggal karena terserang stroke.

***

Cerita soal integritas dan kejujuran dari pria kelahiran Pekalongan, 14 Oktober 1921 dari pasangan Soekario Hatmojo, seorang Jaksa dan Umi Kalsum, memang selalu inspiratif.

Bahkan cerita kejujuran Hoegeng ini seperti melewatkan fakta sejarah bahwa dia tidak bertahan lama sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia pada periode 1968--1971.

Kabarnya, dia dipaksa pensiun oleh penguasa pada Oktober 1971 karena tidak mau berkompromi dalam melakukan tugasnya.

Tahun 1940, di usia 19 tahun, Hoegeng berkuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum), sekolah inilah yang kemudian menghantarkannya menjadi seorang polisi.

Tantangan integritasnya diceritakan pertama kali saat Hoegen ditugaskan menjadi Kadit Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara pada 1956. Wilayah yang disebut sangat berat karena banyak judi dan criminal di sana, dengan para mafia siap “melayani” pejabat polisi yang bertugas.

Benar demikian, saat pertama kali masuk ke rumah dinas, Hoegeng menerima ucapan selamat datang berupa  barang-barang mewah, kiriman seorang pengusaha China. Hoegeng tentu menolak dan meminta pengusaha itu mengambil barang-barangnya.

Merasa terlalu lama diambil kembali, Hoegeng lalu mengangkut keluar segala perabotan mewah dan disediakan pengusaha yang juga adalah seorang cukong judi terbseut dan meletakannya di pinggir jalan. “Saya rasa perkenalan pertama memang selalu mendebarkan” kata Hoegeng saat itu.

Saat itu, banyak pejabat yang memang mudah dihargai dengan cara menyuap seperti itu, tetapi Hoegeng adalah sedikit dari  yang tidak, langka.

Prinsip Hoegeng adalah kehormatan, kewajiban  dan tanggung jawab yang mesti dilakukannya agar citra ideal polisi itu tergambar dalam dirinya. Saat karirnya terus menanjak hingga menjadi Kapolri, prinsip itu terus dipegangnya sepanjang hayat.

Meskipun harga yang dibayarnya cukup mahal, yaitu dicopot dari jabatan tersebut. Saat menjadi Kaplori,  Hoegeng berani membongkar kasus Robby Tjahyadi—pengusaha tekstil dan juga penyelundup mobil mewah kelas kakap di Indoneisa.

Kasus yang menggemparkan karena kabarnya melibatkan puluhan pejabat tinggi di Bea Cukai dan Kepolisian. Hoegeng tidak mundur sejengkal pun untuk menyelesaikan kasus ini, meski karirnya juga akhirnya tamat.

Dia “dipensiunkan” dan ditawarkan untuk menjadi Dubes di Belgia, sebuah posisi yang tentu saja menarik. Hoegeng menolaknya dengan alasan dia tidak pintar untuk berdiplomasi. Hoegeng lebih memilih menjadi pria tanpa jabatan daripada menghamba kepada ketidakbenaran. 

Ada harga diri dan idealisme yang teguh dipegang oleh seorang Hoegeng.

****

Keluarga Jenderal Hoegeng I Gambar : Tribunnews
Keluarga Jenderal Hoegeng I Gambar : Tribunnews
Saya mengetahui Hoegeng pada awalnya dari artikel-artikel pendek saja di media online. Ada asumsi saya sebelumnya (karena mungkin belum membaca cerita tentang Hoegeng secara keseluruhan), bahwa kisah  tentang Hoegeng sebagai Polisi yang jujur hanyalah framing media. Mungkin saja di rumah, hidupnya tetap mewah, menerima suap di rumah dan sebagainya.

Saya ternyata keliru besar, terlebih setelah saya membaca buku berjudul Hoegeng ; Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia. 

Saya terharu dengan salah satu cerita dari anak laki-laki Hoegeng bernama Aditya yang menceritakan perjuangan mereka sebagai keluarga yang tetap hidup sederhana karena sikap idealis dari bapaknya.

Aditya bercerita saat bapaknya menjadi Kapolri, datang dua orang ke rumah membawa 2 buah sepeda motor Lambretta, katanya pengantar itu jatah untuk para pejabat dari pengusaha otomotif.

Aditya tentu senang sekali, karena saat itu keluarga mereka belum memiliki sepeda motor, apalagi mobil pribadi. Namun ketika Hoegeng pulang ke rumah, semuanya berubah,

Hoegeng bertanya dari mana asal motor itu, dan meminta ajudannya untuk mengembalikan Lambretta itu, Aditya lantas kecewa, meski pada akhirnya bisa memahami sikap dari Hoegeng.

Selama menjadi polisi, keluarga Hoegeng tidak memiliki kendaraan pribadi, kecuali Holden Kingswood, mobil syang diberikan teman-temannya setelah Hoegeng pensiun.

Ada lagi cerita berkaitan dengan keluarga. Suatu saat Hoegeng mendapat kesempatan kunjungan kerja di Belanda dengan beberapa pejabat. Para pejabat mulai mengajak keluarganya untuk ikut sekaligus plesir. Kebetulan sekali, Ibu Merry Hoegeng, istrinya juga memiliki kerabat di Belanda, sehingga antusias juga untuk ikut. 

Akan tetapi Hoegeng tidak mengijinkannya. Hoegeng tidak mau istrinya menjadi bahan pergunjingan orang  karena biaya untuk keluarga tentu tidak masuk dalam anggaran kunjungan kerja. Akhirnya Ibu Merry tidak jadi berangkat.  

Hoegeng memang menghidupi integritasnya dimanapun berada, sehingga bukan di kantor saja tetapi juga di rumah, hal itu terlihat dalam keseharian.

Tak heran, jika pendiri dan pemilik Kompas, Jakob Oetama memberikan sebuah catatan kaki atau kutipan seperti ini tentang Hoegeng di dalam buku tersebut “tampil dalam sosok bersahaja, tetapi selalu mampu memancarkan martabat  yang tinggi”.

Humor Gus Dur tentang Hoegeng dan Polisi jujur, tak akan lekang oleh waktu. Jaman memang berubah, institusi pengayom masyarakat itu tentu akan terus berbenah dengan profil Polisi jujur yang akan semakin banyak.

Akan tetapi jangan permasalahkan humor tersebut, anggap saja sebagai pengingat, dan untuk mengenang bahwa ada orang berintegritas seperti Hoegeng yang pernah mengabdikan hidupnya sebagai citra polisi inspiratif.

Jikalau gagal memahami humor tersebut, mungkin saja memang karena benar apa kata Gus Dur, masih terlampau langka sosok Hoegeng dicari di republik ini, tetapi semoga jangan sampai benar-benar telah punah. Karena kita masih butuh cerita inspiratif yang lebih banyak lagi seperti Hoegeng.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun