Lokomotif Ekonomi
Diksi lokomotif ekonomi dipahami sebagai penggerak perekonomian yang akan memberikan pertumbuhan demi peningkatan kesejahteraan menuju kemakmuran masyarakat. Dalam pemahaman umum sering dikaitkan dengan sektor yang dipandang sebagai penggerak seperti sektor konsumsi, sektor konstruksi, sektor energi, sektor pertanian, sektor pertambangan atau sektor lainnya. Logis layak langgeng secara sederhana maknanya logis alias gampang dicerna akal dengan gambaran atau skenario yang merepresentasikan program atau strategi tersebut; layak dari bingkai ekonomi dan finansial umumnya dengan imbalan dalam horison waktu tertentu, sedangkan langgeng bermakna akan tetap berlangsung dalam waktu panjang atau berkelanjutan.
Dalam 20 (dua puluh) tahun mendatang, usia NKRI akan mencapai 1 abad atau seratus tahun dan disebut sebagai Indonesia Emas; dalam perjalanan menuju Indonesia Emas salah satu impian adalah Lolos Perangkap Pendapatan Menengah atau Excape Middle Income Trap dengan klasifikasi pendapatan per kapita berada dalam kategori Pendapatan Tinggi atau High Income dengan rujukan World Bank seperti diberikan pada Peraga-1.
Dengan klasifikasi pada 2025 untuk High Income sebesar USD 14,005 dan asumsi peningkatan 2% per tahun maka pada 2045 batas bawah klasifikasi High Income berada pada besaran USD 20.000. Berdasarkan rujukan dari BPS pada 2024 Pendapatan Per Kapita Indonesia berada pada besaran USD 4,960. Untuk mencapai angka minimum USD 20,000 perlu Compound Annual Growth Rate (CAGR atau rerata pertumbuhan per tahun) sebesar 7,2%. Jika pemerintahan Presiden Prabowo menyebut target angka pertumbuhan sebesar 8% per tahun berarti akan mencapai besaran hampir USD 25,000.
Jika ingin mencapai angka pertumbuhan antara 7,2% - 8% apakah yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia ? Pada Peraga-1 di atas diberikan beberapa hal antara lain :
1. Program Makan Bergizi Gratis
2. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) dengan atribut Sovereign Wealth Fund
3. Â Proyek Strategis Nasional
5. Hilirisasi
6. Pengembangan Ibukota Nusantara (IKN)
7. Pembangunan InfrastrukturÂ
8. Pemberdayaan UMKM Indonesia
9. Pengembangan Kawasan Perkotaan Nusantara
Pilihan di atas bukan pil mujarab atau Panacea (a remedy for all ills or difficulties) yang dapat memastikan tingkat pertumbuhan dalam kondisi global yang kental dengan ketidakpastian atau uncertainty. Juga dampak atau bangkitan yang dihasilkan tentu membutuhkan waktu 5-25 tahun. Berikut ini diberikan wawasan terhadap yang dapat disebut sebagai lokomotif pertumbuhan.
1. Makan Bergizi Gratis
Langkah ini mirip dengan diksi Feed the Mouth yang banyak dilakukan dalam penanggulangan kelaparan atau starvation walaupun upaya peningkatan gizi merupakan tujuan jangka panjang terhadap kualitas sumber daya manusia yang membutuhkan siklus sekitar 25 tahun alias satu generasi. Dengan pemahaman rentang waktu jelas bukan strategi yang tepat untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi dengan mempersiapkan sumber daya yang tangguh.
2. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara
Perspektif Sovereign Wealth Fund (SWF) yang menjadi landasan Danantara memang inisiatif yang bagus tetapi SWF dihadirkan untuk memanfaatkan dana lebih atau surplus dari perekonomian negara. Saat ini yang dihadapi adalah defisit yang perlu ditutup dengan hutang pemerintah sehingga sulit berharap dengan pendekatan SWF berdasakan surplus. Sementara gain atau return berdasarkan kinerja SWF dari beberapa negara secara rerata pada 2024 berada pada kisaran 5-6% sehingga tidak dapat berharap banyak dari manfaat Danantara. Dari sisi investasi, pilihannya investasi di luar atau domestik dan dari dua pilihan tersebut investasi di luar (overseas) juga tidak memberikan gain yang tinggi bahkan cenderung rendah. Hal yang sama terjadi pada investasi domestik khususnya pada pilihan sektor sasaran yang bisa dipilih seperti infrastruktur, property, industri. Belum lagi jika melihat Starting XI (mengadopsi terminologi dalam sepakbola) para pengelola tidak memiliki track record yang mumpuni dalam mengelola SWF. Jika melihat catatan sebelumnya yaitu pada Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan Indonesia Investment Agency sebagai turunan UU Cipta Kerja, maka hasilnya jauh dari memuaskan. Dengan demikian sulit berharap bangkitan dari Danantara.
3. Proyek Strategis Nasional
Sebutan PSN atau Proyek Strategis Nasional bukan hal baru sudah dimulai sejak jaman pemerintahan yang lalu. Dari catatan yang ada hampir semua PSN mengalami keterlambatan misalnya di transportasi dan jalan tol; juga hasilnya tidak memberikan gain atau return yang tinggi bahkan justru yang terjadi Cost Overrun alias biaya bertambah contohnya pada Kereta Cepat Jakarta Bandung dan KRL Jabodetabek. Memang pada satu sisi investasi pada PSN akan membuka lapangan kerja tetapi dampak bangkitannya bagi perekonomian tidak seperti yang diharapkan.
4. Program 3 Juta Rumah
Keinginan untuk menyediakan rumah bagi masyarakat terutama MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) memang tujuan yang mulia karena akan menjadi obat dari penyakit sosial masyarakat (Social Disease). Tetapi pembangunan rumah sebanyak 3 juta per tahun bukan perkara mudah. Berdasarkan pengalaman lalu dengan Program Sejuta Rumah sejak 2015 hampir tidak pernah tercapai secara utuh hanya tambal sulam semata. Kesulitannya karena dalam penyediaan rumah melekat dengan pemilikan yang didukung melalui Kredit Pemilikan Rumah. Selayaknya pendekatannya diubah dari Housing as a Goods yang dimiliki menjadi Housing as a Service yang didapatkan melaui sewa. Seharusnya pilihan Housing as a Service dengan tenur atau masa sewa tidak terbatas menjadi pilihan dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat.
5. Hilirisasi
Pemahaman hilirisasi selayaknya berjalan dengan pengembangan industri nasional yang didukung kehadiran Industrial Tree atau Pohon Industri sehingga dapat mendukung pengembangan produk yang unggul. Memang pernah hadir jarhon Industri 4.0 tetapi entah bagaimana kelanjutannya sehingga sulit untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi dari hilirisasi. Sementara trend global terhadap penggunaan raw material sudah mengarah pada artificial atau non mineral yang dianggap eksploitasinya merusak lingkungan sehingga berdampak terhadap perubahan iklim. Dari sisi market, gejolak harga juga sangat tinggi sehingga mengandalkan produk hilirisasi juga akan mengalami tekanan harga.
6. Pengembangan Ibukota Nusantara (IKN)
Tidak perlu banyak bahasan tentang hal ini karena faktanya menunjukkan bahwa pembangunan IKN hampir dapat dikatakan tertunda jika tidak ingin mengatakan terbengkalai. Berbagai janji investasi yang pernah dimunculkan tidak menjadi kenyataan dan dari catatan ibukota negara baru belum ada "success story" misalnya Canberra (Australia), Brasilia (Brazil), Sejong (Korea Selatan). Putera Jaya (Malaysia). Dengan demikian berharap akan IKN menjadi sentra pertumbuhan bak Menunggu Godot.
7. Pembangunan InfrastrukturÂ
Tema infrastruktur secara teori seperti yang diusung Paul R. Romer dalam Endogenous Growth Theory merupakan pilihan dalam upaya mengangkat pertumbuhan ekonomi. Tetapi kendala anggaran dan harapan akan bangkitan perekonomian berdasarkan pada masa pemerintahan lalu, pembangunan infrastruktur bukan menjadi pilihan dalam era pemerintahan Presiden Prabowo.
8. Pemberdayaan UMKM Indonesia
Diksi lokomotif dan UMKM memang terasa naif jika digandengakan karena ukuran UMKM yang mikro atau kecil. Tetapi karena jumlahnya yang besar secara agregat sektor UMKM dapat menjadi besar juga. Memang selalu jadi tantangan dalam pembedayaan ini pada aspek pembiayaan karena model usaha UMKM yang cenderung tidak tertib dan rapih. Tetapi jika melihat keberadaan UMKM di negara seperti Jepang yang linkage atau keterhubungan dengan korporasi dalam rantai pasoknya seharusnya model tersebut dapat diadopsi demi pemberdayaan dan penguatan UMKM sehingga daya tampungnya menjadi besar dan manghadirkan bangkitan.
9. Pengembangan Kawasan Perkotaan Nusantara
Pengembangan Kawasan Perkotaan Nusantara menjadi penting sejalan dengan gelombang urbanisasi yang terus meningkat. Kupasan tentang pembangunan kawan perkotaan ini dapat dilihat pada artikel : Trilema: Perkotaan Properti dan Pertumbuhan Ekonomi Demi Kepentingan Publik. Hal serupa juga dilakukan China dalam pengembangan kawasan perkotaan sebagai sentra pertumbuhan ekonomi dan hingga saat ini di China ada lebih dari 50 kota dengan populasi di atas 2 juta.
Orkestra Pertumbuhan Menuju Indonesia Emas 2045
Maksud tulisan ini memberikan gambaran serta perspektif dan landasan pemikiran jernih serta kritis. Metafora orkestra selayaknya digunakan untuk berikan gambaran bahwa perjalanan pertumbuhan ekonomi Indonesia membutuhkan partitur sehingga layaknya berbagai seksi (section) dalam orkestra dapat memainkan musik yang menghadirkan harmoni dan padu. Pembangunan Indonesia perlu memperhatikan panduan seperti amanat Sisrenbangnas (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) sebagaimana diamanatkan dalam UU No 25 tahun 2004. Sayangnya dalam pemerintahan kini yang muncul hanya sebatas jargon seperti Prabowonomics yang terkesan latah dengan era Orde Baru dengan Widjojonomics. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang sebelumnya dikenal dengan GBHN(Garis Besar Haluan Negara) memang tidak disusun dan disiapkan dengan disiplin eksplorasi peluang dan eksploitasi sumber daya yang dimiliki; hanya sekedar menjalankan proses sehingga hasilnya terkesan seadanya.Â
Dalam era Reformasi pasca Orde Baru lantas terlihat dan terasa tanpa kehadiran GBHN atau mahzab ala Widjojonomic derap langkah pembangunan bak langkah ulat kaki seribu yang berjalan lamban dan seakan tanpa arah. Semoga hal ini dapat dipahami Presiden Prabowo dan segera melakukan koreksi agar tidak sarat dengan jargon atau omon-omon tetapi afirmasi dalam perencanaan dan implementasi agar tingkat pertumbuhan 7-8% bukan menjadi fatamorgana.
S. Arnold Mamesah - penghujung Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI