Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Ketiga

9 Juni 2019   21:21 Diperbarui: 18 Juni 2019   20:55 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kilas balik masa lalu sempat menguasai alam pikirku sebelum rasa kantuk menghampiri. Mengingkan aku terlelap di atas rempuknya kasur ini. Sebelum benar-benar terpejam, kepalaku menoleh ke arah meja yang letaknya tak jauh dari kasurku. Aku melihat alat-alat lukisku tergeletak rapi di meja kerjaku. Bukan hanya alat lukisku, tapi buku-buku bacaan, alat-alat tulis  sampai laptopku tersusun rapi. Seingatku aku tidak pernah merapikan semua yang ada di atas mejaku. Bahkan aku bilang pada mamaku agar tidak perlu repot merapikan semua barang-barangku. Toh, semua barang itu akan kupakai dan akan kembali berantakan lagi.

***

Seperti biasa aku melanjutkan pencarian Eliza. Aku punya janji yang harus kutepati padanya. Namun ada satu hal cukup mengagetkan bagiku. Tak sengaja aku mendengar isak tangis ibuku. Ada ayahku juga di sana. Lelaki paruh baya itu tampak duduk bersama dengan ibu. Ayahku bilang 'bukan hanya kau saja yang sedih, aku pun juga sedih. Aku juga merasa kehilangan'. Tapi ibuku terus menangis. Ibuku bilang bahwa sulit rasanya merelakan apa yang terjadi dengan anaknya. Bulir keringat sebesar biji jagung meluncur pelan dari dahiku. Aku masih tidak mengerti apa maksud perkataan ibuku, Baiklah, aku mulai merinding mendengar perkataan mereka berdua. Pening bercampur nyeri mulai menusuk-nusuk otakku. Baiklah perkataan mereka mulai membuatku semakin tak enak. Aku langsung berpamitan pada mereka berdua lalu mengendarai motorku meninggalkan rumah.

Aku menuju ruang UKM tempat biasa aku dan Eliza bertemu. Tak banyak orang ada di sana. Ruangan ini dipakai sesuai dengan jadwal kegiatan eksul yang ada di kampusku. dan hari ini merupakan giliran ekskul melukis memakai ruangan ini. Eliza ada di sana. Aku ingin menghampirinya dan bilang kepadanya kalau aku sudah menyelesaikan tantangan yang diberikan padaku.

Tapi aku tak sengaja mendengar pembicaraan yang cukup asing di telingaku. Kedua teman Eliza terlihat sedang mengibur Eliza yang air mukanya terlihat murung. Aku pikir apa yang membuatnya murung.

Mereka bilang itu bukan salahnya. Semua sudah menjadi takdir kalau dia akan meninggal dengan cara seperti ini. Eliza bilang itu adalah salahnya. Salahnya memberikan tantangan itu. Dan salahnya memberikan tantangan itu untuk menuntut jawaban atas pernyataan cintanya.

Aku yang mendengar pembicaraan mereka menjadi gentar untuk lebih dekat dengan mereka. Bola mataku mendelik lebar. Mereka menyebut namaku di dalamnya. Mereka mengatakan kalau aku sudah tiada. Apa maksudnya berkata seperti itu?! Aku yang tidak tahan hanya terus menguping, berniat menunjukkan diri dan meminta penjelasan mengenai maksud perkataan mereka. Kedua kakiku berderap cepat, mengetuk-ngetuk permukaan lantai.

Kini aku sudah berada di hadapan mereka. Akan tetapi mereka seolah tidak menyadari kehadiranku. Bagaimana bisa? Aku sudah berbicara di depan muka mereka, ketiganya sama sekali tidak meresponsku. Apa benar aku sudah meninggal? Aku berteriak sekuat tenaga pun mereka tidak melihat keberadaanku. Sepertinya aku aku harus mencaritahu bagaimana bisa aku mati.

Aku segera beralih ke parkiran. Tapi aku tak menemukan sepeda motorku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari meninggalkan area kampus. Namun aku juga berpikir, ke mana aku harus pergi? Satu hal yang kuingat. LibCafe. Ada hal yang mengganjal pikiranku bila mengingat kafe satu ini. Ketika aku berada di kafe ini, aku melihat kilasan gulungan film yang diputar acak dan cepat. Juga, ketika aku berada di sana, aku didera sakit kepala hebat.

Kuberlari kencang, sekencang mungkin agar aku bisa sampai di LibCafe. Jarak kampus ke LibCafe sekitar tiga kilometer. Meskipun jaraknya cukup jauh dan matahari sedang terik, aku tidak merasakan kelelahan atau haus. Ini semakin menguatkan bukti kalau aku sudah mati. Namun bagaimana aku bisa mati, itulah jawaban yang belum bisa kutemukan sepanjang aku berlari.

Sedikit lagi aku sudah tiba di LibCafe. Sekitar 200 meter lagi aku hampir tiba di lokasi. Namun konsentrasiku sedikit teralihkan ketika aku melihat sketsa tubuh seseorang tercetak di permukaan jalan. Aku sedikit penasaran dengan gambar itu memutuskan untuk mendekatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun