Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Ketiga

9 Juni 2019   21:21 Diperbarui: 18 Juni 2019   20:55 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah memasuki hujan ketiga. Aku masih sering menguntit apa yang sedang dia lakukan dan ke mana saja dirinya pergi selama 24 jam. Tatapan mataku tak pernah mau berpaling padanya. Tidak pernah sedikit pun. Hatiku pun begitu. Aku masih mencintainya.

***

Aku sudah keluar dari kamar. Aku memakai kemeja flanel merah bergaris hitam. Rambutku diolesi Gatsby lalu kusisir model klimis. Kusemprot Axe ke sebelah kanan dan kiri kemejaku, kuhirup aromanya. Pasti dia akan suka, kata hatiku. Begitu kurasa aku sudah tampan, aku bergegas pamit pada ibu. Ibu berlalu saja dari hadapanku.

Aku menangkupkan helm di kepala kemudian memutar kunci. Kupacu tali gas sepeda motorku agar lebih cepat sampai ke rumahnya.

Perempuan yang kujumpai namanya Eliza. Gadis itu tinggi semampai. Rambutnya panjang lewat bahu. Kulitnya putih bersih. Hidungnya bangir mirip hidungnya Marshanda. Bibirnya tipis merah merona. Kalau urusan gadis cantik, lelaki akan lebih cepat mengingat bentuk fisiknya tak terkecuali aku.

***

Biar kau tahu perjumpaan pertama kali dengan Eliza ketika aku berada di parkiran kampus. Kalau tidak salah saat aku mau menyalakan sepeda motor akan menuju basecamp alias kontrakan, aku melihat dia menggaruk-garuk kepala. Gadis itu berdiri tak jauh dari tempatku memarkirkan sepeda motor. Dia kelihatannya kebingungan meminta pertolongan pada siapa.

Karena didorong rasa tak tega melihat orang kesusahan, aku menghampirinya, kutanya apa yang perlu kubantu. Dia bilang ada seseorang yang dia sendiri tidak tahu siapa orangnya, menggembosi ban belakang Mio-nya. Aku juga mengerti apa yang menjadi kebingungannya. Kulihat jam tangan yang melingkar di lenganku menunjukkan pukul 18.14. Sudah petang menjelang malam. Kuamati sekeliling kampus sudah sepi. Hampir tidak ada orang berlalu lalang. Bisa dibilang hanya ada kami berdua di sana di bawah pancaran lampu pijar yang menerangi parkiran sepeda motor.

Aku menyuruh dia menaiki motorku sedangkan aku mendorong motornya menuju tukang tambal ban yang jarakya agak jauh dari kampus. Awalnya dia sempat ragu ketika kukatakan kalau aku yang akan mendorong sepeda motornya sampai ke tukang tambal ban. Tapi kubilang 'tidak apa-apa'.

Kuberhentikan sepeda motornya tepat di depan tukang tambal ban. Aku menuju motorku yang diparkirkannya di sana. Aku langsung tancap gas karena sudah waktunya aku mengambil rantangan malam untuk teman sekontrakanku.

***

Itulah yang bisa kuceritakan sedikit mengenai perjumpaan kami. Aku sudah tiba di rumahnya. Seperti biasa kondisi rumahnya tampak lengang. Aku coba menelusuri siapa saja yang ada dirumahnya. Kulihat adiknya Eliza, Brian dan Eka sedang bermain bulutangkis. Aku ingin bertanya pada mereka tapi kulihat mereka sedang asyik, agak segan mengganggunya. Jadi kuputuskan beranjak pergi dari kediaman Eliza.

Sebelum kubawa motorku menjauhh dari sana, aku memikirkan tempat biasa Eliza dan kawan-kawannya nongkrong. Seingatku, Eliza dan kawan-kawannya sering nongkrong di LibCafe.

Kafe ini mengusung tema perpustakaan dan kafe. Perpustakaan---tempat untuk membaca dan meminjam buku. Suasananya sunyi dan tertib. Kafe---tempat ngobrol, tempat nongkrong, tempat santai. Selalu ramai dikunjungi khalayak ramai apalagi anak muda. LibCafe meletakkan rak buku yang sudah diisi buku diletakkan di empat sudut cafe. Dinding kafee disarati qoutes atau kata-kata bijak dari tokoh-tokoh terkenal dunia. Permukaan meja hiasi gambar kover novel-novel terkenal di Indonesia dan di dunia.

Pertama kali aku agak janggal mendengar nama kafe ini dari Eliza. Maklum aku pertama kali dengar. Dia mengajakku ke sini sebagai bentuk ucapan terimakasih karena diriku mau mengantarkan motornya ke bengkel. Awalnya aku menolak, namun karena terus dipaksa olehnya, aku mengiyakan ajakannya.

Sudah dua puluh lima menit menempuh perjalanan dari rumah Eliza ke kafe ini. Aku memarkirkan motorku lalu melangkah memasuki bagian dalam kafe. Dan lagi, aku tidak menemukan dirinya di sana. Tak habis pikir. Di mana lagi aku harus mencarinya.

Ketika aku bingung ke mana perginya gadis itu, saraf otakku berdenyut nyeri. Aku merasakan pening-pening menusuk-nusuk otak. Padahal aku tidak sedang berpikir berat. Aku memutuskan pulang dari sana. Esok hari aku akan tanya adik-adiknya dan teman-temannya tempat-tempat yang Eliza sering kunjungi.

***

Aku sudah melalui pendekatan-pendekatan yang panjang pada Eliza. Awalnya aku tidak terlalu tertarik dengan gadis ini. Dia suka menbaca. Aku suka menggambar. Sungguh dua kegemeran yang berbeda. Pernah aku berjumpa dengannya di kantin dan aku menawarkan diri bergabung dengannya. Waktu itu dia sedang membaca novel angkatan tahun 60-70 karya Motinggo Busje. Kubilang padanya kalau seleranya kok jadul banget? Dia berkata bahwa karya sastra tahun 1960-1970 memiliki kualitas tulisan dan gaya bahasa yang unik dan artistik, tidak bisa dilihat lagi di karya sastra jaman sekarang.

Aku mengangguk pelan mendengar penjelasannya.Aku membandingkan hobiku yang senang menggambar. Aku tunjukkan hasil karya-karyaku yang pernah terpampang di mading kampus seperti gambar tokoh-tokoh  dunia, tokoh anime atau kartun, dan bahkan gambar wajah mahasiswa populer di kampusku.

Dia melihat sekilas lalu memberikan sedikit saran dan masukan mengenai hasil gambarku. Saat kudengarkan penuturannya, ternyata gadis itu punya pengetahuan juga dalam hal menggambar. Tapi dia bilang bahwa hasil gambarnya mungkin lebih jelek daripada punyaku. Dia menunjukkan kertas hasil gambarnya padaku. Aku langsung terkesima dengan teknik goresan dan ukiran pensil yang dia torehkan di atas kertas. Kuperhatikan seksama gambar-gambar realis dan  surealis miliknya seperti punya makna abstrak yang tidak semua orang yang melihatnya bisa tahu yang hendak disampaikan oleh sang pelukis. Dari situ aku mulai menganggap dia sebagai partner sekaligus rivalku dalam hal mengggambar.

Hari ke hari, aku mulai intens bertemu dengannya. Aku mencoba belajar untuk menyukai hobi membaca sepertinya. Semua itu juga kulakukan  agar aku bisa berdekatan dengannya. Agar aku bisa menghabiskan waktu dengannya.

Kilas balik masa lalu sempat menguasai alam pikirku sebelum rasa kantuk menghampiri. Mengingkan aku terlelap di atas rempuknya kasur ini. Sebelum benar-benar terpejam, kepalaku menoleh ke arah meja yang letaknya tak jauh dari kasurku. Aku melihat alat-alat lukisku tergeletak rapi di meja kerjaku. Bukan hanya alat lukisku, tapi buku-buku bacaan, alat-alat tulis  sampai laptopku tersusun rapi. Seingatku aku tidak pernah merapikan semua yang ada di atas mejaku. Bahkan aku bilang pada mamaku agar tidak perlu repot merapikan semua barang-barangku. Toh, semua barang itu akan kupakai dan akan kembali berantakan lagi.

***

Seperti biasa aku melanjutkan pencarian Eliza. Aku punya janji yang harus kutepati padanya. Namun ada satu hal cukup mengagetkan bagiku. Tak sengaja aku mendengar isak tangis ibuku. Ada ayahku juga di sana. Lelaki paruh baya itu tampak duduk bersama dengan ibu. Ayahku bilang 'bukan hanya kau saja yang sedih, aku pun juga sedih. Aku juga merasa kehilangan'. Tapi ibuku terus menangis. Ibuku bilang bahwa sulit rasanya merelakan apa yang terjadi dengan anaknya. Bulir keringat sebesar biji jagung meluncur pelan dari dahiku. Aku masih tidak mengerti apa maksud perkataan ibuku, Baiklah, aku mulai merinding mendengar perkataan mereka berdua. Pening bercampur nyeri mulai menusuk-nusuk otakku. Baiklah perkataan mereka mulai membuatku semakin tak enak. Aku langsung berpamitan pada mereka berdua lalu mengendarai motorku meninggalkan rumah.

Aku menuju ruang UKM tempat biasa aku dan Eliza bertemu. Tak banyak orang ada di sana. Ruangan ini dipakai sesuai dengan jadwal kegiatan eksul yang ada di kampusku. dan hari ini merupakan giliran ekskul melukis memakai ruangan ini. Eliza ada di sana. Aku ingin menghampirinya dan bilang kepadanya kalau aku sudah menyelesaikan tantangan yang diberikan padaku.

Tapi aku tak sengaja mendengar pembicaraan yang cukup asing di telingaku. Kedua teman Eliza terlihat sedang mengibur Eliza yang air mukanya terlihat murung. Aku pikir apa yang membuatnya murung.

Mereka bilang itu bukan salahnya. Semua sudah menjadi takdir kalau dia akan meninggal dengan cara seperti ini. Eliza bilang itu adalah salahnya. Salahnya memberikan tantangan itu. Dan salahnya memberikan tantangan itu untuk menuntut jawaban atas pernyataan cintanya.

Aku yang mendengar pembicaraan mereka menjadi gentar untuk lebih dekat dengan mereka. Bola mataku mendelik lebar. Mereka menyebut namaku di dalamnya. Mereka mengatakan kalau aku sudah tiada. Apa maksudnya berkata seperti itu?! Aku yang tidak tahan hanya terus menguping, berniat menunjukkan diri dan meminta penjelasan mengenai maksud perkataan mereka. Kedua kakiku berderap cepat, mengetuk-ngetuk permukaan lantai.

Kini aku sudah berada di hadapan mereka. Akan tetapi mereka seolah tidak menyadari kehadiranku. Bagaimana bisa? Aku sudah berbicara di depan muka mereka, ketiganya sama sekali tidak meresponsku. Apa benar aku sudah meninggal? Aku berteriak sekuat tenaga pun mereka tidak melihat keberadaanku. Sepertinya aku aku harus mencaritahu bagaimana bisa aku mati.

Aku segera beralih ke parkiran. Tapi aku tak menemukan sepeda motorku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari meninggalkan area kampus. Namun aku juga berpikir, ke mana aku harus pergi? Satu hal yang kuingat. LibCafe. Ada hal yang mengganjal pikiranku bila mengingat kafe satu ini. Ketika aku berada di kafe ini, aku melihat kilasan gulungan film yang diputar acak dan cepat. Juga, ketika aku berada di sana, aku didera sakit kepala hebat.

Kuberlari kencang, sekencang mungkin agar aku bisa sampai di LibCafe. Jarak kampus ke LibCafe sekitar tiga kilometer. Meskipun jaraknya cukup jauh dan matahari sedang terik, aku tidak merasakan kelelahan atau haus. Ini semakin menguatkan bukti kalau aku sudah mati. Namun bagaimana aku bisa mati, itulah jawaban yang belum bisa kutemukan sepanjang aku berlari.

Sedikit lagi aku sudah tiba di LibCafe. Sekitar 200 meter lagi aku hampir tiba di lokasi. Namun konsentrasiku sedikit teralihkan ketika aku melihat sketsa tubuh seseorang tercetak di permukaan jalan. Aku sedikit penasaran dengan gambar itu memutuskan untuk mendekatinya.

Kuperhatikan dengan seksama. Sketsa tubuh itu sesuai dengan bentuk tubuhku. Itu terbukti saat aku mencoba tergeletak lalu berpose seperti gambar sketsa itu. Pas. Pas sekali dengan ukuran tubuhku. Aku menggigil ketakutan. Aku hampir saja tidak bisa menahan beban tubuhku. Hampir roboh. Aku mencoba bertahan. Sedikit lagi aku hampir tiba di kafe itu.

Aku menembus begitu saja pintu kaca kafe yang menghalangi jalanku. Seperti biasa, tidak terlalu banyak pelanggan yang menikmati suasana kafe. Aku mengitari seisi kafe guna mencari sesuatu yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaanku. Tapi apa yang kucari tidak ada di sana. Aku memilih bersandar di sebuah rak buku yang terletak tak jauh dari meja kasir. Bola mataku tertuju pada dua lembar kertas yang terselip dalam sebuah buku. Aku menarikdua kertas bergambar itu dan mengamatinya perlahan.

***

September, Oktober, November, Desember. Empat dari nama duabelas bulan yang berakhiran dengan 'ber'. Selalu diidentikan dengan hujan. Dan memang begitulah adanya. Hari keduabelas di bulan September, aku memberanikan diri menyatakan perasaan pada Eliza. Ruang UKM di tengah deraian air hujan menitik dari langit, menjadi saksi bisu kalau aku sudah melesatkan panah cinta tepat di relung hatinya. Eliza sempat tertegun sejenak. Ia menunduk, tak berani menatap wajahku. Aku juga membisu. Menanti jawaban setelah aku mengutarakan semuanya.

Selama lima belas detik aku menunggu kata-kata keluar dari mulutnya, kini Eliza mulai bicara. Aku bercampur aduk dalam perasaan tak tentu dan bimbang menanti jawaban macam apa yang keluar dari bibir tipis indahnya. Dia bilang dia akan menjawabnya pada saat hujan ketiga. Aku sempat berpikir keras dengan maksud kata 'hujan ketiga' dari Eliza. Perempuan itu juga bilang kalau aku harus menggambar potret wajahnya dengan teknik melukis yang paling sulit kukuasai. Aku sempat punya pikiran kalau gadis ini sepertinya mempermainkanku dengan istilah yang tidak masuk akal dan permintaan yang juga tak masuk akal. Tetapi aku tepat meneguhkan hati dan pikiranku kalau ini merupakan salah satu upaya untuk memperjuangkan Eliza. Aku pun menyanggupi permintaannya.

***

Setiba aku di rumah, aku merebahkan diri di atas kasur. Aku melipat kedua tanganku di belakang kepalaku. Yang pertama harus kupecahkan adalah arti dari hujan ketiga yang dimaksud Eliza. Aku mencoba berpikir dengan logika Eliza. Pertama, bulan ini adalah bulan September. Kedua, untuk awal minggu di bulan September, hujan baru pertama kalinya turun.

Lalu aku harus menggambar potret wajah Eliza dengan teknik melukis yang paling sulit kukuasai. Memang ada dua teknis melukis yang belum kukuasai dan masih sedang kupelajari. Teknik melukis dengan titik-titik dan teknik arsiran datar. Aku belum tahu kapan aku bisa menyelesaikan lukisan wajah Eliza dengan menggunakan teknik itu.

Aku mengambil kesimpulan mungkin saja Eliza menyuruhku menyelsaikan lukisan wajahnya sampai waktunya hujan turun pertama kali di setiap awal bulan. Dan bisa saja Eliza memberikanku waktu sampai tiga bulan. Dengan kesimpulan yang sudah kuyakini benar, aku mencoba menjawab tantangan dari Eliza.

Bergulat dengan kepayahan dan kesulitan, aku jatuh bangun menyelesaikan lukisan wajah Eliza. Sempat dalam hati dan pikiran, solusi 'menyerah dan berpikiran bahwa Eliza sedang mempermainkan aku' menjadi pilihan kala aku hampir di titik nadir. Tapi aku berusaha memantik semangat dan optimisme kalau apa yang kulakukan ini akan menyentuh hatinya. Dengan segenap tekad yang kugenggam dalam hati, aku meneruskan lukisan ini sampai akhirnya aku bisa menyelesaikannya.

Lukisan itu sudah kubingkai dan kukacakan bagian depannya. Lukisan ini tepat kuselesaikan di hujan pertama di awal bulan November. Tepat di hari ini juga rintik-rintik yang tak terhitung jumlahnya turun dari awan gelap. Aku menunggu rintik-rintik itu mereda. Aku mengirup aroma basah hujan yang menyarati awang-awang. Terasa lembut dan menyejukkan hati. Aku ingin menerobos hujan ini menuju tempat biasa kami berdua bertemu---LibCafe.

Doaku seperti menembus langit. Tidak perlu beberapa lama aku menunggu, hujan berangsur-angsur mereda. Aku langsung tancap gas menuju LibCafe. Aku membutuhkan waktu sekitar 25 menit untuk sampai ke sana karena aku sedang memegang lukisan wajah Eliza yang sudah kubingkai rapi. Aku tidak mau karena kegesaanku mengendarai sepeda motor, lukisanku tidak sengaja terjatuh dan rusak. Jadi aku memutuskan untuk pelan-pelan saja.

Sampai juga aku dengan selamat di LibCafe. Aku melangkah dengan pasti menuju pintu depan kafe. Ketika aku mendorong pintu itu, kedua bola mataku secara gamblang melihat Eliza dan seorang .lelaki mengenakan kacamata dengan sisiran rambut klimis belakang duduk bersamping. Mereka begitu rapat. Seolah tiada sekat membatasi keintiman mereka.

Aku mendekati mereka perlahan-lahan. Eliza dan lelakinya mulai menyadari kedatanganku. Perempuan itu sempat tersentak kaget. Ia sempat tak berkata-kata untuk sesaat tapi begitu dia mulai membuka mulut, aku mengangkat lukisan itu setinggi kepalaku lalu mengempaskan kuat ke lantai kafe.

Begitu lukisan itu berada di lantai, aku segera berpaling dari hadapan mereka. Aku merasa nyeri saat menyadari serpihan kaca menusuk pergelangan kakiku. Namun itu sama sekali tidak menyakitkan ketimbang yang kurasakan saat mereka perempuan yang kudambakan sedang berduaan di depanku. Mungkin kemarin, aku menuruti saja firasatku bahwa Eliza sedang mempermainkanku. Seandainya aku menurutinya, aku takkan merasa sakit seperti ini.

Kupacu sepeda motorku kencang meninggalkan area kafe. Aku tidak peduli kekacauan yang kubuat di sana. Aku ingin meluapkan bahkan melampiaskan hatiku yang terluka pada mereka dengan melempar lukisanku pada mereka tapi aku lebih suka mencampakkannya ke lantai.

Aku memacu sepeda motorku dengan kecepatan 60 km/jam. Saat itu pikiranku masih dkuasai amarah. Aku serasa sekelilingiku kosong lompong, Tak kusadari jarak kap depan mobil diesel dengan bagian depan sepeda motorku hanya sekitar satu setengah meter lagi. Aku tidak punya waktu banting setir. Kesadaranku seolah kembali cepat begitu klakson mobil mengagetkanku.Akan tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menghindari kejadian itu.

***

Dua minggu sudah berlalu sejak insiden itu. Aku masih sering mengikutinya ke mana dia pergi. Memang selama seminggu, Eliza masih terperangkap dalam rasa bersalahnya. Rasa bersalah yang ditimbul karena menganggap dirinyalah yang bertanggungjawab atas kematian diriku. Kalau bisa aku berhadapan langsung di depannya, aku hanya mau bilang bukan semata-mata karena kesalahannya.

Ini juga salahku yang terlalu terbawa amarah hingga aku tidak bisa mengendalikan diri dan sepeda motorku. Aku memang masih mencintainya tapi aku perlahan memikirkan satu hal yang pasti. Aku sudah berbeda alam dengannya. Aku memang bisa melihatnya tapi aku pasti juga tersiksa karena Eliza tak bisa melihatku. Aku memang bisa tetap jatuh hati padanya tapi apakah perasaan yang sama, juga ada padanya?

Aku sudah bisa mengampuni dirinya. Aku sudah mulai bisa mengampuni diriku sendiri. Aku harus segera pergi ke akhirat. Keberadaanku di dunia ini hanya akan menjadi kesia-siaan. Yang terpenting, aku harap lelaki yang dipilih Eliza menjadi kekasihnya bisa menjaga hatinya seperti kesungguhan hatiku yang dulu ingin sekali menjaganya.

Waktuku hampir habis. Aku turut senang pegawai LibCafe menyimpan lukisan wajah Eliza walaupun itu diselipkan dalam sebuah buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun