Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Pencabut Nyawa

4 Juli 2016   19:34 Diperbarui: 4 Juli 2016   20:14 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dan pembunuh seperti kamu takkan kubiarkan hidup.” Paman Ikhsan mendaratkan bogem mentah berkali-kali ke wajahku. Memar dan lebam menghiasi daerah sekitar mataku dan pipi kanan dan kiri. Lelehan darah meluncur pelan dari lubang hidung. Pukulan tangan terus berlanjut di bagian perut. Nyeri dan sesak mengisi lambung. Aku tak bisa membiarkan ini. Aku harus membalas. Kumanfaatkan kakiku menendang selangkang dua orang di belakangku. Begitu jerat tangan terlepas, aku langsung menggenggam kerah baju pamanku dan membenturkan tubuhnya ke tiang semen.

“Ini pukulan lima belas tahun yang lalu, Paman sialan!” tanpa ragu, aku melayangkan pukulan tangan ke paman berkali-kali. Aku menekuk sikut kaki, mengarahkan ke bagian perut. Paman Aji hanya bisa menjerit kesakitan.

Aku mencampakkan tubuh paman ke lantai. Sambil menduduki di perutnya, aku lanjut mendaratkan kepalan ke wajahnya lagi.

Mata terbeliak seakan mencuat keluar. Aku melemahkan kepalan tangan. Napas tercekat di batang tenggorokan. Kepala menunduk ke bawah mengamati apa yang terjadi dengan tubuhku. Telapak tangan meraba punggung dan menemukan darah sudah merembes di pakaian. Mereka menyingkirkan tubuhku yang masih menduduki perut paman setelah membuang pistol milikku.

Kesadaranku perlahan mulai melenyap. Tapi aku bisa merasakan tubuhku sedang diseret menuju pinggiran bangunan.

“Kini, petualanganmu benar-benar harus berakhir di sini, Keponakanku. Sampaikan salamku jika kalian bertemu di neraka sana,” tutup pamanku. Setelah mengayunkan diriku beberapa kali, mereka melepaskan tubuhku, membiarkan angin malam menerpa punggungku.


Pamanku benar. Mungkin inilah akhir dari petualanganku. Aku berharap ada seseorang yang akan melanjutkan tekadku, melenyapkan orang-orang jahat di dunia ini termasuk pamanku. Oh tidak, tidak. Aku tidak ingin seseorang melanjutkan pekerjaanku ini. Biarlah itu menjadi sejarah dalam hidupku sendiri dan ingatan bagi orang-orang yang telah kubunuh semasa aku hidup.

Bugh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun