Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Pencabut Nyawa

4 Juli 2016   19:34 Diperbarui: 4 Juli 2016   20:14 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dorrr!

Ia tergeletak tak berdaya. Nyawa sudah hilang. Dua napi yang tidur seketika bangun, terlonjak kaget dengan suara letupan senjata api yang terdengar keras.

“Hah!”

Dorrr! Dorrr!

Tak sempat mengucapkan kata terakhir, peluru-peluru yang dimuntahkan dari ujung shotgun sudah menghantarkan nyawa mereka ke genggaman penguasa neraka. Mendengar keributan dan suara senjata api, membuat napi-napi lain terganggu. Tapi jerit dan iba para napi berkumandang di telingaku saat kedua tanganku memangku sebuah senjata.

“JANGAN BUNUH KAMI! JANGAN! AMPUNI KESALAHAN KAMI!” jerit para napi di sana. Peduli setan! Itu salah kalian sendiri. Tiba saatnya berpesta.


***

Aku menaruh kembali senjata yang telah kupakai membabat para penjahat dunia. Aku senang mengembalikan roh mereka ke habitat asli—neraka. Aku yakin segala penjuru penjara sudah disarati dengan lelehan darah. Darah kental dan merah merambat liar, mencari celah untuk melarikan diri dari tempat terkutuk itu. Aku juga yakin, darah yang mengalir di urat nadi tak sudi memberikan kehidupan jika di otak mereka hanya diisi rencana busuk untuk memuaskan nafsu kebinatangan.

Untuk cerita selanjutnya, aku sudah melenyapkan para hamba yang rakus harta dunia terutama uang. Uang menjadi tujuan hidup segelintir para pejabat berdasi dan berkerah putih. Uang menjadi kebutuhan mutlak yang seakan-akan bisa membeli setiap elemen kehidupan. Tapi sayangnya, mereka tega mengambil uang yang seharusnya untuk para rakyat jelata. Dan lagi-lagi, hukum berpihak pada orang-orang bermateri.

Aku sudah mengukur jarak antara senjata runduk milikku dan kepala sang koruptor dengan teropong yang menempel di atasnya. Akurasi sudah pas. Jemariku pun sudah tak sabar ingin menanamkan peluru kematian ini dalam kepala sang koruptor. 

Masih terngiang di otakku bagaimana ulas senyum menjijikan sang koruptor ketika keluar dari mobil. Bayangkan, mereka bisa-bisanya tersenyum di saat masyarakat menengah ke bawah tak terpenuhi kebutuhan papan, sandang, dan pangan. Bahkan, tak bisa mengenyam bangku sekolah lantaran dana mereka habis disedot para maling berdasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun