Mohon tunggu...
Armeliana Ussy
Armeliana Ussy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Jakarta

Senang berdiskusi untuk memperluas perspektif dan mempelajari hal yang baru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Berhak Menjadi Sehat

26 Mei 2023   09:25 Diperbarui: 26 Mei 2023   09:23 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hak Perempuan | Foto: Pixabay

Sampai detik ini, manusia masih harus terus memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM menjadi landasan kemanusiaan yang universal, tiada satu belahan bumi manapun yang menyangkal atau mempunyai konsep yang berbeda. Namun, tidak sedikit penyebarluasan HAM ini menghadapi tantangan. Apalagi menyangkut kaum hawa dalam hal mendasar, kesehatan.

Negara yang Bertanggung Jawab

Kependudukan suatu negara dipengaruhi oleh fertilitas dan mortalitas. Terbukti Jepang yang mengalami krisis populasi sebab rendahnya angka fertilitas dan tingginya angka mortalitas. Untuk menyeimbangkannya, dibutuhkan peran perempuan sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan generasi berikutnya. Mirisnya, negara dengan fertilitas yang tinggi, seperti Niger, Angola, Benin, adalah negara di wilayah Afrika Sub-Sahara yang menyumbang 87% dari angka kematian ibu global pada tahun 2020. Ditambah lagi fakta bahwa 95% dari semua kematian ibu terjadi di negara yang mempunyai penghasilan rendah dan menengah ke bawah pada tahun 2020.

Kematian ibu disebabkan oleh komplikasi selama dan pasca kehamilan dan persalinan, seperti pendarahan hebat, infeksi, dan tekanan darah tinggi. Kondisi tersebut mesti dipahami bersama dan bukan hanya tanggungan kaum hawa, namun negara harus bertanggung jawab dalam memperhatikan hak pelayanan kesehatan menghadapi kondisi tersebut. Penyebab wanita yang akan melahirkan tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan, seperti kegagalan sistem kesehatan, menuntut untuk diperbaiki terutama bagi negara yang memiliki angka kematian ibu yang tinggi.

Dalam hal masalah di atas, perang memperparah kondisi. Perang selalu memberikan malapetaka nyata bagi masyarakat yang tak bersalah, tak pelak bagi Yaman yang masih terus berkecamuk oleh perang antara pemberontak Houthi melawan pemerintah. 10.000 nyawa melayang, 50% warganya berada di ambang kelaparan, menjadi negara termiskin di Timur Tengah, sampai David Beasley Direktur Eksekutif World Food Programme (WFP) memperingatkan bahwa Yaman terancam bencana kemanusiaan terburuk di dunia selama tempo 100 tahun terakhir.

Sebuah kisah pilu datang dari seorang Ibu yang hendak melahirkan di tengah situasi tersebut. Dilansir dari BBC, Mona, seorang perempuan berumur 19 tahun harus menaiki unta---di tengah sakitnya rasa kontraksi---sejauh 40 kilometer. Hal tersebut disebabkan fasilitas kesehatan yang sangat minim, rumah sakit terdekat berjarak 40 kilometer jauhnya dan ditempuh selama tujuh jam. Tercatat, seorang perempuan meninggal setiap dua jam saat melahirkan akibat masalah kesehatan yang tak bisa dicegah. Kurang dari 50% kelahiran dibantu oleh dokter spesialis, kebanyakan masyarakat bertempat tinggal yang berjarak lebih dari satu jam perjalanan menuju rumah sakit. Kondisi ini sudah ada sebelum perang, dan perang memperparah situasinya.

Stigma yang Tidak Perlu

Menstruasi adalah proses biologi alamiah yang terjadi pada wanita. Sudah sepatutnya keperluan menstruasi sudah menjadi perhatian mendasar bagi semua orang. Namun tidak, realitanya 500 juta perempuan dan anak perempuan tidak memiliki hal-hal yang mereka butuhkan agar menstruasi mereka higienis, aman, dan bebas dari rasa malu. Stigma di lingkungan sekitarnyalah yang memainkan peran.

Di Nepal bagian barat, misalnya. Tradisi Chhaupadi melarang perempuan dan anak perempuan yang sedang dalam masa menstruasi memasak makanan dan memaksa mereka untuk bermalam di luar rumah, seringkali di gubuk atau kandang ternak. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap higienitas mereka. Mereka menggunakan perlatan yang sama dan tidur di luar rumah dapat terpapar cuaca ekstrim hingga dalam beberapa kasus, terdampak pelecehan seksual. Perempuan yang menstruasi juga memiliki kerentanan yang tinggi. Di banyak tempat di dunia, menstruasi adalah tanda anak perempuan sudah siap menikah atau melakukan aktivitas seksual. Hal ini memicu kerentanan terhadap pelecehan seksual dan pernikahan anak.

United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) telah membuat daftar setidaknya ada lima Hak Asasi Manusia yang bisa dirusak oleh perlakuan yang diterima perempuan selama masa menstruasi. Hak tersebut adalah:

  • Hak atas kesehatan, perempuan bisa terdampak kesehatan buruk jika tidak leluasa mendapatkan akses dan fasilitas dalam mengelola kesehatan mestruasi mereka.
  • Hak atas pendidikan, penelitian yang dilakukan oleh Kuhlmann, dkk. (2017) dan Tegegne & Sisay (2014) menunjukkan bahwa ketika anak perempuan tidak bisa mengatur keperluan menstruasi mereka di sekolah, maka kehadiran dan prestasi mereka menurun.
  • Hak untuk bekerja, perempuan dapat didiskriminasi di tempat kerja sebab kondisi kerja yang tidak setara oleh karena kebutuhan menstruasi.
  • Hak atas non-diskriminasi dan kesetaraan gender, stigma dan norma menstruasi sangat berpengaruh terhadap praktik diskriminasi.
  • Hak atas air dan sanitasi, di mana hal ini merupakan hal yang mendasar untuk mengelola kesehatan menstruasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun