Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Seseorang yang bermimpi berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masyarakat dan negara-nya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamatlah Riwayat Sastrawan

9 Agustus 2022   09:10 Diperbarui: 9 Agustus 2022   09:14 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com 

Mata Tamat berbinar-binar ketika menyelesaikan halaman terakhir dari buku kumpulan cerita pendek yang telah ia kerjakan sejak sebelas bulan lalu. Ia memang bercita-cita menjadi sastrawan besar di Ponville.

Pria lulusan universitas jurusan sastra itu pun berharap, kelak ia akan meninggalkan bangunan indekos busuk yang sekarang menjadi naungan-nya.

Tamat mengirimkan naskah karyanya kepada sejumlah penerbit, baik di Ponville maupun di luar kota. Hasilnya masih nihil.

Penerbit-penerbit buku zaman sekarang lebih menyukai cerita-cerita cinta, perselingkuhan, perebutan harta, dan hal-hal konyol sejenisnya. Konon, perkara seperti itu lebih diminati pembaca.

Sementara karya Tamat merupakan kumpulan suara-suara rakyat kecil yang baru akan ditindaklanjuti ketika sudah masuk koran atau menjadi topik utama perbincangan warganet.

Sebenarnya Tamat paham betul halangan yang ada di depannya. Namun ideologi adalah kemewahan terakhir yang ia miliki dalam hidup, selain motor bebek butut yang menemaninya ke mana saja.

Belum lagi minat baca masyarakat Ponville yang lebih senang membaca deskripsi di marketplace.

Berbulan-bulan belum menampakkan sesuatu yang berarti, Tamat memutuskan akan menerbitkan karya-nya secara mandiri.

Oleh karena itu, Tamat semakin rajin bekerja paruh waktu sebagai tenaga kebersihan di sebuah toko.

Tempatnya bekerja itu adalah toko yang menjual alat-alat untuk menjahit. Kebanyakan pembeli yang datang adalah orang-orang yang berumur tiga puluh sampai enam puluh tahun. Tamat mengamati. Sementara anak-anak muda di Ponville lebih tertarik dengan kafe gaul yang menjual kopi tak enak dengan harga selangit, ketimbang mengisi waktu dengan belajar menjahit.

Tamat berpikir bahwa alat-alat menjahit ini mirip sekali dengan topik-topik yang diusung dalam karyanya, yaitu jumlah  pembaca-nya yang tidak bisa dibilang banyak.

Toko tersebut bernama "Teman Sejati", dimiliki oleh seorang wanita yang juga berstatus sebagai orang tua tunggal. Gosip beredar menyatakan suaminya dulu kabur dengan laki-laki lain.

Bu Rupiah, nama atasan Tamat di toko, selalu mengeluh ketika disodorkan karya-karya anak buahnya itu.

"Mat, tak bisakah kau buat cerita tentang wanita yang ditinggal suaminya?" tanya Bu Rupiah suatu hari.

Tamat yang kala itu sedang mengepel lantai langsung berhenti sejenak. "Apa guna-nya, Bu?"

"Heh! Kau ini memang tak paham perasaan perempuan! Kisah-kisah seperti itu sangat related di masyarakat kita hari ini." Bu Rupiah menepuk meja. Gelang dan cincin emas yang besar-besar di jarinya bergetar hebat.

"Mungkin suatu hari nanti saya akan mengarang cerita seperti itu, Bu."

"Kapan?"

"Ketika orang-orang sudah paham apa penyebab rusaknya cinta."

Dahi Bu Rupiah mengerut. "Memangnya apa sebabnya?"

"Akibat kurang cinta kepada Tuhan."

***

Perak demi perak terkumpul. Tamat menabung dengan baik demi terbitnya karya hasil dari perenungan dan daya pikirnya itu.

Tamat begitu bersemangat, karena di umur dua puluh tiga tahun, ia mampu menelurkan karya yang menurutnya sangat mewakili masyarakat kecil.

Suatu hari ia menyerahkan uang untuk jasa cetak dan penerbitan kepada seorang pengelola sekaligus pemilik usaha penerbitan.

"Uangnya pas, ya," ujar Varlo.

"Sip, terima kasih. Semoga segera selesai buku-buku saya."

Varlo menyeruput secangkir kopi di hadapannya. "Saya penasaran, kenapa Saudara Tamat menulis karya dengan genre seperti ini? Maaf saya hanya sekadar bertanya."

"Kalau bukan saya, siapa lagi?"

Mendengar jawaban yang unik, Varlo tertawa terbahak-bahak. "Saya sudah bertahun-tahun tidak mendapat tawaran untuk menerbitkan buku semacam ini, membuat saya bernostalgia betapa indahnya dulu ketika masih bersemangat membangkitkan kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang belum beruntung."

"Jadi?" Tamat bingung menafsirkan kata-kata yang terlempar dari mulut pria berambut cepak itu.

"Artinya saya akan memberikan rabat pada proyek ini, karena ide yang Anda tuangkan ke dalam buku merupakan kenangan bagi setiap pegiat literasi yang sudah kenyang."

Tamat memandang Varlo dengan tatapan bingung.

***

Melalui jaringan internet, toko buku, dan kios-kios penjualan koran, Tamat mempromosikan serta menitipkan buku kumpulan cerpen-nya yang berjudul "Tamatlah Riwayat Sastrawan".

Ia juga berusaha menawarkan buku-buku tersebut kepada kawan-kawan-nya, namun yang terjadi adalah Tamat mendapatkan dukungan moral saja, namun tidak dengan transaksi komersial.

Ketika Tamat mencoba menjual bukunya kepada sesama penulis, hal yang terjadi adalah ia malah ditawari membeli karya rekan-nya tersebut.

Hari-hari pun terlewati begitu saja tanpa perubahan berarti. Buku Tamat memang ada yang beli, sejumlah teman-nya yang merasa kasihan saja.

Anehnya, pembeli-pembeli itu berada di luar lingkaran sastra Ponville, murni orang awam yang kasihan kepada sang penulis.

Sementara itu, insan sastra Ponville tak lebih dari kumpulan manusia yang memuji dirinya sendiri.

Oleh karena urusan perut tak bisa ditunda, Tamat mencari pekerjaan lain. Ia melamar sebagai staf urusan sastra di Pusat Kajian Sastra Ponville.

Beruntung ia diterima, dan bertekad akan meningkatkan muruah pegiat sastra di daerahnya. Tamat mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan yang lebih tinggi dalam rangka menambah kompetensi-nya di bidang terkait.

Berjalan waktu, Tamat memang hanyalah manusia biasa, dan merupakan orang kebanyakan. Gaji, uang tunjangan yang bermacam-macam, kursi yang empuk, dan kehidupan yang mapan, telah menjadikan gelora ideologi berubah sepi.

Ia tak lagi menyentuh buku-buku sastra kecuali hanya untuk kepentingan kenaikan pangkatnya di kantor. Tamat sudah tak merasa perlu memperjuangkan lingkungan sastra yang sehat di Ponville, karena baginya itu sudah selesai.

Prinsipnya bahwa Tamat sudah cukup berjuang, sekaranglah saatnya menikmati hidup. Tanpa ia sadari, perjuangannya selama ini sekadar supaya hidup nyaman. Sejak awal ia tak pernah peduli soal sastra. Itu hanya sebuah cara menyembunyikan maksud yang benar-benar tak berani diungkapkan-nya. Munafik kalau kata orang-orang dulu.

Suatu hari sepucuk surat mendarat di meja kerja Tamat, pengirimnya adalah Varlo, seseorang yang dulu berbaik hati memberi diskon untuk pencetakan buku-bukunya. Tamat agak merasa kesal ketika membaca tulisan pendek pada secarik kertas buram itu.

"Apakah Anda sudah kenyang? Oh, ya ... Bu Rupiah juga titip salam, katanya jangan lupa selalu cinta kepada Tuhan. Aku kemarin belanja di tokonya. Semoga Anda sehat selalu." tulis Varlo.

---

Dicky Armando, S.E - Pontianak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun