Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen: "Gadis Gagak" Bagian 1 dari 2

13 Maret 2023   10:46 Diperbarui: 13 Maret 2023   13:14 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: https://medium.com/mlearning-ai/how-to-make-money-with-ai-art-ed223d55cb89

Santos tidak menyukai pesta dansa. Baginya semua kemegahan itu tak lebih dari pertunjukan boneka. Para bangsawan mengundang koleganya untuk menari dan minum-minum, untuk apa? membicarakan bisnis, bertukar gosip kerajaan atau menjodohkan anak-anak mereka. Sungguh menggelikan.  Lakukan saja di ruangan kerja, buat apa membuang waktu berputar-putar seperti monyet diiringi alunan musik. 

Itulah mengapa sejak senja tadi ia tetap duduk menyendiri di sudut ruang dansa tanpa menghiraukan hiruk pikuk manusia disekelilingnya. Hari ini, kediaman Qasillas keluarganya menjadi tuan rumah pesta dansa mingguan di ibukota kerajaan. Meski telah didandani oleh pelayan dan mengenakan pakaian mewah, Santos tidak mengajak satu wanita pun untuk berdansa. 

Berbekal sebuah buku, Santos duduk di kursi tanpa meja agar para tamu tidak bisa bergabung dengannya. Mata si pemuda terpaku membaca setiap penggalan kalimat pada buku yang dipegangnya.

 "Marina mencarimu, nak"

Santos menoleh kaku pada asal suara itu. Seorang pria paruh baya berdiri tegap disampingnya. Rambut yang mulai beruban disisir rapi kebelakang, senyuman berseri ia lemparkan dari sela-sela kumis  dan janggut yang bersarang rapi di wajahnya.

"Aku sudah bertemu dengannya tadi, ayah. Mungkin ia sedang menghibur bangsawan lain saat ini." Ujar Santos acuh tak acuh.

Telapak penuh urat nadi mendarat pelan di pundak Santos, "Kau tidak bisa terus seperti ini, Santos. Marina gadis yang baik. Keluarganya juga sangat dekat dengan keluarga kita. Ia bisa jadi istri yang tepat untukmu." Sahut si pria tua.

Pemuda itu mengangkat satu alis, bukunya ia tutup. 

"Tentu saja, yah. Semua prajurit yang pernah tidur dengannya pasti punya pendapat yang sama denganmu." Ucap Santos datar.

"Jaga bicaramu, nak! Ada banyak orang disini."  

Pemuda itu memutar mata lalu kembali membuka buku. Gigi ayahanda lembut bergemeretak, memikirkan dosa apa yang ia lakukan di masa lalu hingga dewa memberinya seorang putra keras kepala seperti ini. Sejenak pria itu menarik nafas, jemarinya halus meremas pundak putranya.

"Baiklah, ayah tidak akan memaksa kalau kau tidak ingin menikahi Marina. Tapi kau harus segera memilih, nak. Lihat sekelilingmu. Gadis-gadis di ruangan ini semuanya menatapmu meski kau bersembunyi di sudut gelap ini."

"Mereka tidak melihatku, tapi apa yang akan diwariskan padaku." Jawab pemuda itu sembari membalikan lembar buku.

"Santos, lihat ayah!" Pintah si pria tua.

Pemuda itu memutar leher dengan malas menghadap ayahnya. Raut wajah tanpa emosi ia tampilkan sambil menebak nasihat yang akan keluar dari mulut orang tua ini. Kau bukan lagi anak-anak_ pikirnya.

"Kau bukan lagi anak-anak!" Seru pria itu membenarkan dugaan Santos, "Ayah berjanji pada ibumu agar tidak meninggalkan dunia ini tanpa melihatmu melanjutkan nama keluarga Qasillas."

"Akan kulakukan kalau waktunya sudah tepat, yah. Kau tidak perlu berteriak seperti itu." Ujar Santos tak ingin membuang waktu berdebat dengan ayahnya.

Sesaat puluhan mata melirik kearah mereka berdua, penasaran akan topik pertikaian mereka. Ayahanda tersenyum dingin pada para tamu seolah memberitahu kalau semuanya baik-baik saja. Sejenak kemudian ia lanjut bicara.

"Berjanjilah pada ayah, nak. Ajaklah satu saja wanita untuk menari denganmu malam ini. Lakukan demi jiwa ibumu di surga." Pria itu menatap wajah anaknya penuh harap.

Sejenak Santos menarik nafas. Ia memiringkan leher menghindari pandangan sang ayah. Ibu, kenapa kau tinggalkan aku dengan pria keras kepala ini? 

"Iya-iya, aku janji, yah" ucapnya.

Genggaman tangan sang ayah melemah, senyuman kembali menghiasi wajahnya. Mata si pemuda menangkap tiga orang yang melangkah kearah mereka.

"Daripada menceramahiku terus, tamu utama kita sudah datang." Ucap Santos menganggukan kepala pada mereka.

Segera ia berdiri dan menyilangkan tangan dibelakang. Ayahnya juga berbalik sembari tersenyum ramah pada tamu yang kini berada di depan mereka.

"Tuan Qasillas, tuan muda. Aku harap aku tidak menggangu percakapan kalian." ujar pria bertubuh gemuk dan pendek sambil menunduk hormat. 

Ia mengenakan jas merah berornamen emas yang mencolok. Kumis tipis mantap bersarang diatas bibir tebalnya. Dibelakang pria itu, dua pengawal berseragam militer berdiri tegap bak patung.

"Ah, pangeran Antonio. Tentu saja tidak. Senang sekali anda bisa bergabung di kediaman sederhana kami. Maafkan aku, tapi aku tidak mendengar kedatangan mu diumumkan." Ujar sang Ayah sopan pada pewaris ke-empat kerajaan ini.

"Formalitas bukan gayaku, Qasillas. Apalagi jika banyak ular malam ini yang berkeliaran karena mencium bau darah." Ucapnya datar namun penuh keanggunan.

"Ah tentu saja, yang mulia." Ujar sang ayah was-was.

Santos tersenyum disamping ayahnya yang kurang peka. Dengan tidak mengumumkan kedatangannya, pangeran ingin menunjukkan pada bangsawan yang lain bahwa kedatangannya bukan untuk berpesta. 

Itu tanda bahwa apapun penawaran bisnis tuan rumah akan ditolaknya. Sebuah formalitas politik agar tidak ada kecemburuan diantara para bangsawan.

 Meskipun begitu, Santos tahu bahwa sang pangeran tidak punya pilihan lain kecuali bekerja sama dengan keluarga Qasillas.

Keluarganya pemilik tambang terbesar di kerajaan ini. Proyek pembangunan istana yang baru hanya mungkin dikerjakan melalui campur tangan mereka.

Santos telah memastikan bahwa tidak ada bangsawan lain yang mampu bersaing dengan keluarga Qasillas. Ia dan ayahnya telah merancang rencana yang sempurna. Ia yakin itu. Kalau tidak, pangeran gendut ini tidak mungkin berjalan ke sudut tergelap ruangan dansa untuk mencari ayahnya.

"Dimana sopan santunku. Lebih baik kita mengobrol diatas, pangeran. Biarkan anak muda menikmati pesta ini." Ujar sang ayah sambil mempersilahkan pangeran dan rombongannya berjalan lebih dulu.

"Kau tidak ikut, tuan muda?" tanya pangeran.

"Aku tersanjung, yang mulia. Namun aku sudah berjanji pada ayahanda untuk menghibur setidaknya satu wanita malam ini." Jawab Santos sopan.

"Tentu saja. Memang tidak seharusnya kau menyia-nyiakan masa muda, Santos. Sebelum terbangun dan menyadari bahwa kau tidak bisa menunggang kuda lagi karena tubuhmu yang terlalu besar dan pinggangmu kesakitan." Ucap sang pangeran sembari tertawa kecil, "Baiklah, tunjukan jalannya tuan Qasillas." 

Santos menunduk ramah ketika ayahnya dan rombongan pangeran meninggalkan dia. Mereka menaiki tangga utama menuju lantai atas, menghindari keramaian lalu menghilang dari pandangannya.

Segera Santos kembali duduk di kursi, membuka buku dan tenggelam tak menghiraukan permintaan ayahanda. Ia hanya tidak ingin membicarakan hal yang sudah pasti diketahuinya. Meski ayahnya keras kepala, ia pebisnis ulung yang mampu menjual pasir pada penghuni gurun sekalipun. Santos hanya perlu menunggu lalu menjalankan rencana berikutnya.

***

Hari semakin malam dan suasana pesta semakin ramai karena minuman mulai menari diatas kepala para tamu. Semakin banyak pemuda yang mengajak para wanita untuk berdansa ketika alkohol menggantikan rasa takut mereka. Para wanita yang melirik Santos juga tak lagi duduk di meja, bosan menunggu sang tuan muda yang melekatkan mata pada lembaran kertas ditangannya.

Sesaat ketika lagu berhenti berkumandang, kepala pelayan berseru mengumumkan kedatangan seorang tamu.

"Yang mulia Carlos dari rumah Banderas"

Santos melirik ke arah pintu depan setelah mendengar kedatangan itu. Carlos Banderas? tidak biasanya. Dari sekian banyak bangsawan, keluarga Banderas hampir tidak pernah hadir dalam acara pesta dansa. Mereka tinggal di perkebunan di pinggir kota dan tidak menghiraukan perputaran politik di ibukota. Mengapa hari ini Carlos Banderas datang kemari?

Orang tua itu melangkah masuk sembari menyilangkan tangan dibelakang pinggang. Kumis dan janggut emas nan tebal bersarang pada wajahnya. Ia mengenakan jas hitam tajam bergaya militer dan topi tinggi melengkapi penampilan gagah seorang pekerja keras.

Mata Santos segera berpindah pada orang yang datang menemani pria itu. Seorang gadis muda merangkul tangan Carlos dan masuk bersama-sama kedalam ruangan dansa.

Gadis itu mengenakan gaun hitam yang membalut kulit putih pucat yang anggun membiaskan cahaya ratusan lentera di ruangan itu. Diatas kepalanya bersarang mahkota berhiaskan bulu burung gagak, menambah keindahan rambut perak yang dikuncir kebelakang. 

Meski jauh dari standar kecantikan kerajaan mereka yang lebih menyukai kulit kecoklatan, gadis itu memiliki daya tarik berbeda ketika bibir meronanya tersenyum sambil menelusuri ruangan. Tanpa sadar Santos telah melupakan bukunya dan terpaku menatap gadis bermahkota gagak bak nyengat yang menempel pada lampu jalanan.

Sesaat kemudian gadis itu melepas tangan Carlos yang memintanya mencari tempat duduk, sementara Carlos berbincang dengan bangsawan lain. Ia pelan melangkah menuju meja kosong yang berdekatan dengan kursi yang diduduki Santos.

Ia menghentikan pelayan yang berjalan didepannya, lalu bicara panjang lebar memesan minuman. Ketika pelayan itu berjalan kembali, Santos memanggilnya.

"Buatkan aku pesanan yang sama dengan gadis itu." Perintahnya.

Pelayan menganggukan kepala dan melangkah kebelakang. Santos masih terus mencuri pandang dengan gadis itu. Sesekali tamu lain mengunjungi mejanya untuk berdansa. Namun dengan sopan, gadis itu menolak ajakan mereka. Ia hanya duduk sambil tersenyum menikmati tarian dan musik yang menggema di sekelilingnya. 

Selang beberapa menit, pelayan datang membawakan minuman ke meja Santos. Minuman itu disediakan dalam gelas anggur dengan warna oranye keruh. Santos menggoyang-goyangkan gelas dan mencicipinya. Rasa pahit yang familiar melekat di ujung lidahnya, rasa dari gin. Lalu rasa asam yang berpadu dengan gin muncul dari perasan buah jeruk, serta aroma rempah-rempah dan daun mint dari ramuan absin lembut memanjakan hidung. Selera yang menarik.

Santos tersenyum sambil mengecap minuman itu. Kepalanya dipenuhi ribuan alasan mengapa gadis Banderas ini datang kemari. Semakin lama bibirnya beradu dengan gelas, semakin fokus pula prediksinya, hingga berbuah menjadi dua alasan. Yah, hanya dua. 

Satu-satunya cara untuk memastikan hal itu adalah dengan mengajak gadis ini berdansa. Santos menutup buku, merapikan pakaiannya dan melangkah menuju meja sang gadis, bersiap menguraikan misteri yang datang ke kediaman keluarga Qasillas.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun