Dari kelemahan fisik, ia bisa melahirkan empati. Dari rasa tidak berharga, ia bisa menumbuhkan solidaritas.
“Yang menumbuhkan kita bukanlah keadaan tanpa cela, tapi dari luka yang kita sembuhkan dengan kasih sayang.”
Berdasarkan fenomena ini semua, apa yang bisa kita lakukan? Sebagai orang tua, hentikan kalimat “lihat tuh anak tetangga.”
Bandingkan anak dengan dirinya kemarin. Apresiasi usahanya, bukan hanya hasilnya.
Lalu bagaimana dengan guru? Berhentilah menjadikan nilai akademik sebagai satu-satunya alat ukur.
Berikan panggung bagi anak yang unggul di musik, olahraga, menulis, atau kepemimpinan. Apa yang bisa dilakukan sekolah? Bangun budaya suportif.
Hal lain yang bisa dilaksanakan seperti konseling kelompok berbasis kekuatan karakter. Jadikan ruang bimbingan konseling (BK) bukan tempat hukuman, melainkan ruang pemulihan, bimbingan, dan pendampingan.
Nah, bagaimana dengan remaja itu sendiri? Sadari bahwa semua orang punya celah dan retak.
Keunikanmu adalah kekuatanmu. Jangan cari validasi di cermin retak bernama media sosial.
“Anak bukanlah kanvas kosong yang bisa kita lukis sesuai keinginan, mereka adalah teks kehidupan yang perlu kita renungi dan pahami setahap demi setahap.”
Inferiority complex pada remaja memang nyata. Ada penelitian yang mengukurnya, ada cerita yang mewujudkannya, ada wajah-wajah yang menanggungnya.