Namun di balik citra itu, mereka sebenarnya memikul beban standar maskulinitas yang berat. Sejak kecil, laki-laki sering dijejali kalimat: “Jangan cengeng,” “Laki-laki harus bisa melindungi,” “Cowok itu harus jago hitung-hitungan,” atau “Jangan kalah sama perempuan.”
Pesan-pesan ini seolah membentuk dinding tinggi yang harus mereka panjat. Sayangnya, ketika gagal melampaui dinding itu, banyak remaja laki-laki justru terjerembab dalam jurang rasa rendah diri.
Mereka merasa hancur, gagal memenuhi ekspektasi yang dipasang oleh budaya, keluarga, bahkan dirinya sendiri.
Sedangkan perempuan menghadapi tekanan yang berbeda bentuk. Mereka dicekoki standar kecantikan yang dibuat industri dan diperkuat budaya populer.
Kulit harus putih, tubuh harus langsing, wajah harus mulus, senyum harus menawan. Iklan, film, dan media sosial bekerja sama membentuk satu ilusi bahwa kecantikan bisa diukur dengan ukuran baju, harga skincare, atau jumlah “like” di Instagram.
Akibatnya, banyak remaja perempuan merasa dirinya kurang cantik, kurang ideal, dan kurang pantas diperhitungkan hanya karena tidak sesuai dengan gambar yang ditayangkan layar kaca.
Padahal, kecantikan tidak lahir dari cermin, melainkan dari cara kita memperlakukan diri sendiri. Cermin hanya bisa memantulkan wajah, tapi tidak mampu memantulkan hati.
Hakikat kecantikan lahir dari sikap, cara kita menebar kebaikan, serta kemampuan untuk membuat orang lain merasa nyaman berada di sekitar kita. Kalau mau lebih bagus lagi, cantik itu bukan sekadar kilau di kulit, melainkan cahaya yang terpancar dari dalam jiwa.
Namun, jangan juga terburu-buru mengutuk minder, karena sebenarnya ia bisa menjadi pintu masuk menuju kedewasaan seorang remaja. Orang yang pernah merasa rendah diri tahu rasanya menjadi kecil, sehingga ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang peka terhadap orang lain.
Minder bisa mengajarkan kerendahan hati, asal tidak dibiarkan membusuk. Alfred Adler, seorang psikolog, menyebut rasa kurang percaya diri sebenarnya bisa menjadi bahan bakar.
Anak yang minder bisa menemukan panggung baru untuk dirinya. Dari kegagalan akademik, ia bisa menemukan seni.