Sederhananya, orang yang sibuk membandingkan diri dengan orang lain sering kali lupa membandingkan diri dengan dirinya sendiri.
Media sosial menambah bara pada api yang sudah membakar panasnya. Anak-anak lekas iri melihat teman sebayanya memamerkan ke mana mereka liburan, barang mewah yang dimiliki, kulit putih glowing, atau prestasi akademik yang mentereng.
Mereka tidak tahu bahwa di balik foto penuh senyum itu ada tangis yang tak terposting. Sebagian besar remaja lalu mengukur dirinya dengan standar semu.
Inilah yang disebut dengan imaginary audience, remaja merasa panggung hidupnya selalu disorot lampu orang lain. Padahal, sebagian besar orang sibuk menyorot dirinya sendiri.
Mereka saling menatap, tapi tidak pernah benar-benar melihat. Media sosial mengajarkan kita membandingkan bab pertama hidup kita dengan bab dua puluh kehidupan orang lain.
Jangan kira minder hanya soal pribadi. Ia bisa menjelma luka sosial.
Remaja yang minder cenderung menarik diri, tidak percaya pada potensinya, dan akhirnya tidak memberi kontribusi pada lingkungannya. Lebih parah lagi, ada yang menutup rasa rendah diri dengan kesombongan palsu.
Akhirnya, ia menjadi arogan, galak, suka merendahkan orang lain, padahal yang ia lawan sebenarnya adalah bayangan dirinya sendiri.
Di sekolah-sekolah saat ini, ada murid yang memilih diam seribu bahasa karena takut salah. Ada juga yang memilih berisik, mengganggu, bahkan membully, sebagai cara untuk menutupi rasa tidak aman dirinya.
Dua-duanya lahir dari rahim yang sama, yaitu ketidakmampuan menerima kelemahan diri. Seperti kita pernah jumpai juga, terkadang orang yang paling keras tertawa adalah orang yang paling takut menangis.
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa laki-laki justru lebih sering mengalami inferiority complex dibanding perempuan. Hasil ini mungkin mengejutkan, karena masyarakat kerap membayangkan laki-laki sebagai sosok yang kuat, gagah, dan berani.