Anak muda sama halnya seperti biji benih yang dilempar ke tanah. Ada yang jatuh di tanah subur, tumbuh kemudian jadi pohon rindang.
Ada yang jatuh di tanah berbatu, tumbuh kerdil dan miring. Tapi jangan lupa, ada pula biji yang jatuh di celah batu, yang justru tumbuh kuat dan akarnya menembus kerasnya bebatuan.
Itulah perjalanan remaja. Sebagian tumbuh dengan rasa percaya diri yang sehat, sebagian lagi tumbuh dengan luka minder yang membelit.
Inferiority complex bukan sekadar teori psikologi. Ia adalah wajah-wajah murung anak-anak kita di kelas.
Ia adalah remaja yang duduk di pojok kantin, menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal ia takut ditolak dalam percakapan. Ia adalah siswa yang enggan angkat tangan meskipun tahu jawabannya, karena khawatir ditertawakan teman-teman.
Minder itu nyata, dan ia hadir dalam detail kecil kehidupan sehari-hari.
Kebudayaan dan kebiasaan masyarakat kita pandai sekali menciptakan standar sukses yang sempit. Nilai ujian, universitas ternama, pekerjaan mapan, semuanya dijadikan tolok ukur harga diri.
Remaja pun belajar hal-hal ini sejak dini, yaitu kalau tidak ranking, kalau tidak juara, kalau tidak masuk sekolah favorit, berarti hidupnya gagal. Dari sinilah inferioritas berakar.
Padahal, tidak semua bunga harus menjadi mawar. Ada yang menjadi bunga melati yang harum meski kecil.
Ada bunga anggrek yang anggun meskipun tumbuh di batang pohon. Sayangnya, kita yang sudah dewasa ini sering lupa memberi ruang untuk keunikan itu.
Akhirnya, anak-anak hidup dalam perlombaan tanpa garis finish, terus membandingkan dirinya dengan orang lain.