Tertidur dalam perjalananÂ
Tidak ada suara. Tidak terdengar pengumuman. Diam. Diam. Sampai tiba-tiba mata ini perlahan terbuka. Penumpang tinggal tersisa. Tidak banyak, entah turun dimana. Kesadaran mulai ada dan ternyata stasiun itu sudah terlewati. Stasiun itu, terlewati dan harus kembali.Â
Pagi ini, stasiun tujuan itu terlewati. Satu stasiun lagi, aku harus kembali. Satu stasiun lagi musti turun. Maka, mata mulai siaga, telinga mulai berjaga agar stasiun itu tak terlewati juga.Â
Stasiun berikutnya terlihat, perlahan dan perlahan mulai berhenti. Aku turun, berjalan, berpindah peron. Beruntung kereta datang begitu cepat. Akhirnya, kembali juga ke stasiun tujuan; Manggarai. Tidak lama, kereta pun terhenti di Manggarai. Cepat-cepat turun, dan menjari jalan untuk naik ke lantai dua. Kereta ke Kota ada di peron 10 dan 11.Â
Ketika kaki mulai terpijak di peron 8, suasana memang begitu berbeda. Penuh sesak,tidak bisa berjalan cepat. Apalagi naik tangga, harus entre dan terhenti sesekali. Pada akhirnya tercipta kerumunan dan kemacetan orang berjalan. Ternyata kemacaetan tidak hanya terjadi di jalan-jalan Ibu Kota. Tangga stasiun Manggarai macet, eskalator macet, apalagi lift pun macet dan harus menunggu begitu lama untuk mengantar sampai peron 10 atau 11.Â
Manggarai pukul 6.30 begitu banyak penumpang, berhamburan kesana-kemari mencari tujuan, bersliweran berebut peluang menjadi yang pertama dan berharap bisa masuk kereta.Â
Di antara jutaan penumpang, mencari celah dan jalan untuk berharap bisa terangkut sampai stasiun Gondangdia. Satu stasiun terlewati. Badan dan mata ini sanggupkan untuk mengumpulkan energi agar pulihkan segala rasa. Namun, ruang kantor yang biasa pukul enam sudah terbuka, sarapan pagi tersaji dan kopi bisa dinikmati, pagi ini, semua hilang tidak terjadi.Â
Satu stasiun terlewati; waktu berjalan begitu cepat, hidup berebut dalam kerumunan. Stasiun itu terekam jutaan manusia yang berebut tujuan.Â