Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pagi Ini, Stasiun Itu Terlewati

18 Januari 2023   07:00 Diperbarui: 18 Januari 2023   07:15 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kereta terkadang melintas setia dalam jadwal yang pasti, tetapi terkadang tersendat  atau terkesan cepat sekali. Menunggu menjadi latihan kesabaran sambil berharap ada sebuah kursi kosong tanpa seorang pun mau menggunakannya. Berharap bisa memejamkan mata meski hanya sejenak. Duduk di antara bangku kosong menjadi sebuah kesempatan nan langka dan tak ternilai harganya. 

Pukul 05.00. Sepi, belum begitu banyak aktivitas. Belum begitu banyak lalu lalang, belum begitu banyak suara-suara hentakan kaki bersahutan dan berebutan memasuki stasiun. Belum tampak, penumpang setia commuter line pagi ini menumpuk dan antre untuk masuk. Hari ini, di depan stasiun Tambun agak sepi. 

Menunggu kereta segera datang di stasiun Tambun menjadi rasanya seperti menanti sebuah harapan bahwa akan selalu ada sebuah kursi tanpa penghuni yang bisa menyangga tubuh dan badan ini agar terlepas dari rasa lelah yang berkesudahan. Tidak lama memang menanti kereta pagi ini. Dalam sebuah lamunan sambil berdiri di peron tiga, suara pengumuman lirih terdengar. Kereta itu segera datang. 

Celah kosong kursi penumpang 

Penumpang mulai mendekat peron, berhamburan mencari celah kosong diantara penumpang. Sepuluhmenit lalu, stasiun ini masih begitu sepi. Detik ini, tidak ada celah yang bisa aku susupi, agar bisa masuk lebih cepat ke lorong kereta. Kereta itu pun terlihat dalam cahaya remang tak pernah padam. Berjalan dalam irama perlahan. Perlahana memasuki peron stasiun tambun. Rem mulai berdecik, bunyi menggerigit pelan pertanda berhenti dalam rangkaian yang cukup panjang. 

Ketera itu berhenti, pintu mulai terbuka. Penumpang mulai masuk perlahan. Tidak ada suasana berebutan, tidak ada suasana saling sikut, tidak ada suasana saling mengancam. Penumpang-penumpang itu mulai duduk, mencari kursi nyaman, bersih dan tidak berbau. Akhrinya, pagi ini, ada tempat duduk kosong dan tak seorangpun mau mendudukinya. Di anara lima penumpang, duduk di kursi dalam suasana nyaman adalah impian dan nilai yang terkira sebagai roker, alias rombongan kereta. 

Ada sebuah harapan, dengan kereta tepat waktu seperti ini, sampai di Manggarai pun akan tepat. Sampai di tempat kerja bisa lebih pagi, bisa sarapan, bisa ngopi dan sejenak bisa mempersiapkan pekerjaan hari ini. Datang lebih pagi di sebuah rumah kerja adalah sebuah energi inti agar bertahan sampai siang hari. 

Rasanya hari ini sebuah anugerah istimewa, bisa duduk dalam suasana tanpa desak-desakan. Duduk dan tiba-tiba terdiam. Satu stasiun berikutnya, dua stasiun berikutnya, tidak begitu banyak penumpang yang masuk. Aku masih berani untuk tetap mendudukkan tubuh gemuk ini. Satu stasiun lagi, jika masih tidak banyak penumpang yang perlu kursi, aku akan sepenuhnya menggunakan kursi ini untuk sejenak bermimpi. 

Benar. Di stasiun Kranji, tidak banyak penumpang turun, di stasiun Cakung pun begitu. Tiba-tiba tubuh ini sudah lunglai tak sasarkan diri. Terduduk dalam mimpi panjang. Tertidur di bangku kereta ini ternyata begitu mengenakkan, nyaman tiada tiada hingga. 

Tanpa ingat sampai di mana, tanpa ingat lagi harus terhenti dimana. Ruang di di kereta ini tiba-tiba begitu gelam, gelap dan gelap. Begitu sunyi di gerbong pagi ini. Pagi ini, seolah mengganti tidur tadi malam yang belum puas dan selesai. 

Tertidur dalam perjalanan 

Tidak ada suara. Tidak terdengar pengumuman. Diam. Diam. Sampai tiba-tiba mata ini perlahan terbuka. Penumpang tinggal tersisa. Tidak banyak, entah turun dimana. Kesadaran mulai ada dan ternyata stasiun itu sudah terlewati. Stasiun itu, terlewati dan harus kembali. 

Pagi ini, stasiun tujuan itu terlewati. Satu stasiun lagi, aku harus kembali. Satu stasiun lagi musti turun. Maka, mata mulai siaga, telinga mulai berjaga agar stasiun itu tak terlewati juga. 

Stasiun berikutnya terlihat, perlahan dan perlahan mulai berhenti. Aku turun, berjalan, berpindah peron. Beruntung kereta datang begitu cepat. Akhirnya, kembali juga ke stasiun tujuan; Manggarai. Tidak lama, kereta pun terhenti di Manggarai. Cepat-cepat turun, dan menjari jalan untuk naik ke lantai dua. Kereta ke Kota ada di peron 10 dan 11. 

Ketika kaki mulai terpijak di peron 8, suasana memang begitu berbeda. Penuh sesak,tidak bisa berjalan cepat. Apalagi naik tangga, harus entre dan terhenti sesekali. Pada akhirnya tercipta kerumunan dan kemacetan orang berjalan. Ternyata kemacaetan tidak hanya terjadi di jalan-jalan Ibu Kota. Tangga stasiun Manggarai macet, eskalator macet, apalagi lift pun macet dan harus menunggu begitu lama untuk mengantar sampai peron 10 atau 11. 

Manggarai pukul 6.30 begitu banyak penumpang, berhamburan kesana-kemari mencari tujuan, bersliweran berebut peluang menjadi yang pertama dan berharap bisa masuk kereta. 

Di antara jutaan penumpang, mencari celah dan jalan untuk berharap bisa terangkut sampai stasiun Gondangdia. Satu stasiun terlewati. Badan dan mata ini sanggupkan untuk mengumpulkan energi agar pulihkan segala rasa. Namun, ruang kantor yang biasa pukul enam sudah terbuka, sarapan pagi tersaji dan kopi bisa dinikmati, pagi ini, semua hilang tidak terjadi. 

Satu stasiun terlewati; waktu berjalan begitu cepat, hidup berebut dalam kerumunan. Stasiun itu terekam jutaan manusia yang berebut tujuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun