Hari ini, 6 Januari 2023, tiba-tiba seorang anak muda, yang mungkin sudah lama tak bersua, tiba-tiba muncul di depan pintu sebuah kelas. Sapaan singkat, mengingatkan siapa dia sebenarnya. Sambil menyebutkan nama, sebuah buku kecil disodorkan perlahan. Buku kecil itu; kumpulan puisi itu sudah beralih tangan. Aku memegangnya begitu erat,Â
...
Ayahmu telah mengajariku dengan baik; diÂ
kehidupan berikutnya, aku akan melupakan
air mata ini, dan semua kembali menemukan
satu sama lain,
Tapi manusia tetaplah manusia
dan semua doa adalah kenangan
yang bergemuruh
melepas nama dan rupamu (dipetik dari Kumpulan Puisi Anicca karya Liswindio Apendicaesar, hlm. 13)
Obrolan singkat seorang anak muda, yang 12 tahun pernah menjadi murid sekaligus teman dalam berdiskusi di kelas, seolah kembali mengingatkan pada apa yang pernah dan sering kita diskusikan di kelas. Menulis puisi, membaca puisi dan menikmati puisi adalah menikmati sebuah kejujuran atas sebuah kehidupan.Â
 Dua belas tahun yang lalu, kita menjadi murid dan guru dalam satu ruang kelas bersama. Berbicara tentang pesan-pesan kehidupan dalam puisi-puisi yang kita pelajari hanya sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Namun, hari ini, ketika buku kecil, kumpulan puisi ini pelan-pelan mulai dibaca, rasanya pengalaman dalam menemani siswa di kelas, dan pengalaman hidup yang diperoleh seorang mantan murid telah mengubah. Bagaimana sebenarnya, sebuah puisi mempunyai peran dalam kehidupan seseorang, hingga merelakan sebagian hidupnya untuk mencerna pengalaman dalam berbait-bait puisi. Â
Membaca kumpulan puisi Anicca seperti membaca sebuah pengalaman hidup penulis. Pengalaman hidup di negeri seberang, Myanmar, sebagai pendidik tidak meruntuhkan pengalaman-pengalaman untuk tetap meneguhkan karya-karyanya di Nusantara. Kekayaannnya adalah perjalanan demi perjalanan yang dilalui hingga di setiap jengkal kota disinggahi selalu menelurkan karya-karya yang tidak akan usai dan usang. Enak dan indah untuk selalu dinikmati sebagai sebuah karya kehidupan.Â
Kau memilihku pergi berlayar bersama duka
Setelah mengangkat jangkar yang seharusnya
Mendaratkan kepada pantai yang meerdeka
Sebab dogma dan dunia memaksamu berpaling
dari bahagia, ke bahtera semu yang asing
Hingga jiwa dan citamu tinggal puing-puing
(Fatum Brutum Amar Fati, dari kumpulan puisi Anicca karya Liswindio Apendicaesar, hlm. 67)
Puisi-puisi dalam Kumpulan Puisi Anicca bukan hanya menjadi hadiah istimewa dari seorang murid yang pernah mengambil peran dalam ruang dan rupa yang sama. Kini mantan murid itu telah menjadi pendidik untuk manusia-manusia yang membutuhkan perjuangan hidupnya. Di sana, semangat itu akan mencul untuk terus menyelamatkan anak-anak manusia  dan membahagiakan mereka. Karena sejatinya menjadi guru tidak akan pernah selesai, dalam segala karya dan rupa.Â
Selamat berkarya, Liswindio, terima kasih untuk hadiah istimewa ini.Â