Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Mini: Prasasti

19 Oktober 2020   08:15 Diperbarui: 19 Oktober 2020   08:24 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber:jakarta.tribunnews.com

Tiga orang di depanku terlihat perlente dan keren.  Nandi yang tinggi besar terlihat macho dengan baju dan celana ngepasnya.  Yandi meski hanya berkaos kerah,  namun dari bahannya aku tahu harganya mahal.  Begitu juga baju kasualnya Barga.  Sangat pas di tubuh suburnya.  Kalau ada yang sangat jauh berbeda dengan mereka ya aku ini.

Aku hanya menggunakan celana lama butut serta kaos dekil dan lusuh. Tidak wangi lagi. Beda jauh dengan mereka yang dari jauh sudah tercium aroma kesegaran tubuhnya.

Tapi di tempat seperti ini justru akulah yang sangat menikmati.  Lihatlah mereka bertiga.  Mereka terlihat kikuk duduk mencangklong, sedangkan aku bahkan duduk langsung di atas tanah.

Kusapu pemandangan indah di depanku.   Bagi orang kota,   hamparan tanaman cabe   berwarna hijau berpadu dengam warnah merah buahnya mampu mengurangi tingkat kestresan mereka.   Pengaturan komposisi tanamannya seolah terlihat seperti lukisan besar dengan paduan warna yang harmoni.  Aku saja  yang tiap hari menyaksikannya hampir tak pernah bosan.

"Aku tak bisa ikut bersama kalian. " Itu adalah kalimat pertama yang kuberikan setelah hampir lima menit terdiam menghadapi desakan mereka.

"Jangan bodoh, Aliq.  Kamu langsung memperoleh posisi tinggi,  supervisor.  Akan segera dipromosikan jika dalam satu semester berkinerja baik.  Kepala cabangku sudah setuju bulat setelah kuceritakan prestasimu, baik yang akademik maupun lainnya." Kali ini Nandi yang mendesakku.  Kedua temanku yang lain ikut menekanku melalui tatapan mereka.

Aku tersenyum.   Sia-sia saja mereka membujukku.

"Apa sih enaknya di sini?  Tiap hari bercampur lumpur dan air kotor! Bukankah rentan penyakit?" Barga ikut menekanku tajam. Tatapannya kuartikan merendahkan.

Aku masih tersenyum.  Namun kali ini senyumku bercampur kejengkelan.

Cukup sudah kalian merendahkanku dan merasa bangga dengan pilihanmu. Aku mendengus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun