Mohon tunggu...
Arif Saefudin
Arif Saefudin Mohon Tunggu... Guru - Owner/Blogger di www.arifsae.com

Guru CLC Terusan 2 di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia || Owner/Blogger di www.arifsae.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

DARI BAWAH ANGIN MENUJU ATAS ANGIN : MENUJU POROS MARITIM DUNIA

13 November 2013   14:26 Diperbarui: 2 Juli 2015   09:56 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengembaliakn Arus Balik : Dari Selatan ke Utara

Di zaman Majapahit, Arus Balik peradaban berlangsung dari Bawah Angin di Selatan ke Atas Angin di Utara. Tetapi kini, berubah pada sebaliknya, dari Utara ke Selatan. Bisa jadi benar ucapan Pramoedya, Indonesia tak habis – habisnya dirundung masalah integrasi, karena sebagai kekuatan maritim, Indonesia justru diatur oleh paham kontinental dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, tetapi bahkan meminggirkan budaya kemaritimannya. Arus Balik yang mengisahkan Nusantara dalam segala kemegahannya sebagai kekuatan maritim yang jaya. Tetapi, kemudian Arus Balik membayangkan arus zaman membalik, segalanya berubah: kekuasaan laut menjadi mengkerut ke pedalaman, kemuliaan menukik dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke kekalahan, kecermelangan cendekia menjadi kedungan penalaran, persatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan.

Sejarah adalah cermin paling jernih, referensi terpercaya untuk suatu perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik. Itulah isi paling substansial bukunya ketika ia mengorek – ngorek sejarah, sehingga sedemikian banyak pelajaran dipersembahkan oleh sejarah, agar kita menaruh kecintaan kepada rakyat dan Tanah Air. Betapa kekuatan dan kesatuan maritim Nusantara pernah mengimbak – imbak megah berpendaran damai ke Utara, tetapi kemudian arus membalik. Arus raksasa menggelombang dari Utara menghempas Nusantara mundur ke Selatan, yang tertinggal hanya negara, kota kecil – kecil di pesisir Utara Jawa, bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke pedalaman, ke desa – desa di kaki – kaki pegunungan.

Nusantara sekarang hanya menjadi saksi bisu, kehebatan kerajaan besar penguasa Arus Selatan hingga mampu menerjang penguasa kerajaan Utara. Majapahit menjadi kekuatan maritim terbesar pada abadnya (1350 – 1389 M). Majapahit menguasai hampir seluruh Indonesia saat ini, hingga Singapura, Malaysia, dan beberapa negara ASEAN lainnya.

Bercermin pada sejarah, kita harus meneguhkan kembali jati diri bangsa sebagai penghuni Negara Maritim, beranjak dengan visi dan strategi cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Sebab kalau tidak, kegemilangan masa lalu hanya akan menjadi wacana tanpa makna, jika kepemimpinan Nasional tidak segera memutar kemudi ke arah Visi Negara Maritim.

 


Strategi Bangkitkan Budaya Maritim Indonesia

Sekalipun kaya akan hasil laut, bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan ikan. Oleh karena itu, budaya maritim harus berwujud reformasi kultural, atau jika meminajm istilah Presiden Terpilih,    Bapak Joko Widodo, “Revolusi Mental”, yang diawali dari meja makan, dimana ikan harus menjadi menu utama bangsa Indonesia.

Kerugian Indonesia terkait dengan illegal fishing diperkirakan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. Jumlah triliunan ini adalah angka yang sangat besar dan dapat dialokasikan ke pendidikan, misalnya. Jepang untuk mencari ikan saja sampai ke kutub utara, danb segala jenis ikan pun diburu. Sementara Indonesdia wilayah kelautannya lebih luas dari jepang, belum menganggap penting tata kelola satu atap kelautan. Semua instansi merasa punya hak atas tata kelola laut meski untuk bertanggung jawab atas kerugian tata kelolatersebut tidak ada yang mau bertanggungjawab (Purnomo, Y., 2014).

Oleh karena itu, Pemerintah mendatang dalam mewujudkan budaya maritim dengan cara mendorong dunia pendidikan, keluarga dan lembaga terkait memiliki progam makan ikan laut. Membentuk suatu budaya itu tidak bisa instan tetapi harus dididik, diajari dan diedukasi. Ini hal yang sederhana tetapi akan mengubah cara pandang bangsa Indonesia terhadap lautnya. Jika makan ikan laut menjadi tradisi, kebutuhan makan ikan meningkat, illegal fishing diperangi, pembangunan instruktur kelautan dan kekuatan keamanan dan keselamatan laut ditingkatkan. Pada ujungnya nanti Indonesia tidak membutuhkan banyak badan yang mengatur tata kelola kelautan.

Yang di butuhkan Indonesia, sebagaimana banyak negara telah melakukan, adalah memiliki satu badan dengan banyak fungsi agar tumpang tindih pengelolaan dapat dihindarkan. Karena yang harus dipikirkan adalah kepentingan Nasional, bangsa dan negara. Tetapi semua itu mebutuhkan waktu yang panjang untuk bisa mengubah budaya “among tani” ke “dagang layar” (Cunningham).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun