Dahulu berapa puluh tahun yang lalu, ketika pelaratan masjid belum di pagar tinggi dan pintu gerbangnya digembok, sebagian mereka ada yang ngaso sebentar untuk berlelap melepaskan lelah di sana. Paling hanya beberapa jam saja. Setelahnya menjelang pagi mereka bergrilya lagi.
Kalau yang kita maksud gelandan di sini adalah siapa saja yang tidak memiliki tempat tinggal sebenarnya mereka memiliki tempat tinggal di kampung halaman mereka. Nyatanya ketika mudik lebaran. Banyak di antara mereka yang pulang kampung.
Saya dahulu sering mancing di sungai pada malam hari dan kebetulan spot yang banyak ikanya adalah wilayah di bawah jembatan. Katanya ikan akan banyak berdiam di bawah jembatan karena di dasarnya banyak kayu dan besi tenggelam di dasar sebagai penopang jembatan. Ikan bertelun dan mencari makan di sana.
Sehingga saya bisa melihat lebih dekat kehidupan mereka. Sebenarnya tak semenderita yang kita kira. Banyak canda dan tawa serta kelakar yang keluar dari mereka pada saat berkumpul sesama mereka.
Kadang soal berkejar-kejaran dengan satpol pp, patugas pasar, pemilik toko dan lain-lain. Kejadian yang begitu membuat hati kita miris pun mampu mereka olah menjadi bahan gurauan. Beberapa saat menjelang tidur mereka sempat becengkerama dan bergembira.
Sekarang bandingkan dengan kita, yang katanya hidup berkecukupan, hidup mewah bahkan sempatkan sedikit meluangkan waktu untuk bercanda bersama keluarga. Bergembira sebelum menutup malam dengan gelak tawa? Disadari atau tidak, hanya sebagian kecil yang melakukan itu.
Kesibukan dan beban kerja soang hari telah membuat jenuh dan lelah perasaan dan pikiran. Sehingga rumah megah hanya jadi tempat untuk memejamkan mata. Tak sedikit yang sebelum memasuki kamar hangat dan terang dengan wajah sangar dan bermusuhan. Apa pun sebannya, nyatanya terjadi dan terjadi lagi.
Meskipun banyak juga yang akhir malam sebelum menjelang tidur anggota keluarga berkumpul kemudian bercerita dan sesekali ada gelak tawa yang mengiringinya
Bagi gelandangan dan penghuni kolong jembatan, penampilan bukanlah segalanya. Memang tak layak jika mereka tampil mewah. Yang penting hidup harus dilalui dan dijalani dengan berjiang bertahan dan berusaha semaksimal mungkin.
Urusan nanti anak keturunannya bagiamana? Barangkali dalam hati kecil mereka juga terbersit bahwa jangan sampai nasib yang mereka alami menimpa anak keturunan mereka. Tapi ya mau bagaimana lagi. Kenyataannya hidup memang susah.
Ada sih beberapa kolong jembatan yang digunakan untuk transaksi "mencuci botol". Begitu istilah mereka, prostitusilah bahasa kerennya. Pelakunya ya pelakunya di antara mereka.