Dalam konteks "perasaan" memang kita terbilang rancu, terutama di Indonesia. Heart yang dimaksudkan sebagai jantung diterjemahkan menjadi "hati".
Maka ketika mengatakan "hatiku sedih, kau selalu ada di dalam hatiku" yang selalu diraba adalah daerah jantung di dada. Bukan hati di ulu hati.
Masalahnya menjadi rancu tatkala pemahaman tentang hati dan jantung. Kebanyakan orang menganggap hati sebagai kualitas subjektif. Saat seseorang mengatakan "hati saya hancur", itu artinya perasaan atau emosinya hancur. Sedih!
Sebetulnya hati itu objektif. Berupa benda. Sejatinya perasaan itu muncul dari pikiran.
Seseorang yang memikirkan putusnya hubungan dengan sang pacar, apa mungkin hatinya akan merasa sedih. Seseorang yang berpikir tentang kenaikan gaji, apa iya hatinya bergembira.
Saya mencoba bertanya, betulkah (organ) hati yang merasakan semua itu? Betulkah (organ) hati yang berhubungan dengan otak? Jawabnya: tidak!
Jantung merasakan apa yang otak pikirkan. Ketika kita berpikir takut, jantung akan berdebar, bukan hati. Ketika pikiran sedang kacau, marah, dan cemas, maka pola irama jantung berdebar-debar. Menjadi tidak normal. Sejumlah ahli mengatakan: sangat menggangu kesehatan fisik!
Kembali ke Quantum Ikhlas. Ilmu pengetahuan berhasil membuktikan bahwa kualitas elektro magnetik jantung 5000 lebih kuat daripada otak. Dengan kata lain, kalau positive thinking memakai tenaga 1 watt, maka positive feeling memakai tenaga 5000 watt.
Positive felling menggunakan vibrasi sangat tinggi: bersifat cinta, damai, penuh kasih. Sehingga vibrasinya pun lebih dekat dengan vibrasi Tuhan!
Jantung, kata para ilmuwan, juga mempunyai "otak" sendiri. Ia bekerja secara otomatis. Tanpa perlu menunggu perintah dari otak yang ada di kepala kita. Detak jantung otomatis memompa darah, misalnya.
Melihat fakta seperti itu, mulai sekarang tak ada salahnya kalau mulai "berpikir" dengan jantung. Serahkan kepemimpinan dalam berpikir dan segala perasaan pada jantung.