Mohon tunggu...
arifhaikal
arifhaikal Mohon Tunggu... Mahasiswa

seorang mahasiswa di universitas malikussaleh

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pentingnya Bahasa Indonesia Pada Perguruan Tinggi Dan Penulisan Karya Ilmiah

29 Juli 2025   15:38 Diperbarui: 29 Juli 2025   15:38 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita sepakat bahwa Bahasa Indonesia bukan hanya bahasa pemersatu, tetapi juga bagian dari identitas dan kedaulatan bangsa. Namun ironisnya, di tengah semangat internasionalisasi perguruan tinggi, Bahasa Indonesia justru sering kali dikesampingkan, terutama dalam penulisan karya ilmiah.

Dalam banyak seminar dan diskusi akademik yang saya ikuti, sering terdengar anggapan bahwa menulis dalam bahasa Inggris dianggap lebih "bergengsi" dan "bernilai akademik". Sementara menulis dalam Bahasa Indonesia cenderung dianggap lokal dan kurang dihargai. Ini menjadi pertanyaan besar: apakah Bahasa Indonesia tidak cukup layak menjadi bahasa ilmu?

Padahal, jika kita kembali pada regulasi, peran Bahasa Indonesia sudah sangat jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, disebutkan bahwa "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, termasuk dalam penulisan karya ilmiah" (Pasal 26 Ayat 1). Aturan ini ditegaskan kembali dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 yang menyebut bahwa Bahasa Indonesia harus digunakan dalam laporan kegiatan akademik dan ilmiah di lembaga pendidikan tinggi.

Namun mengapa aturan ini belum sepenuhnya dijalankan?

Bahasa Ilmu yang Terpinggirkan

Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa sebagian besar jurnal ilmiah terakreditasi nasional (SINTA) sudah menggunakan sistem bilingual, dan sebagian bahkan sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Menulis dalam jurnal internasional memang penting untuk visibilitas dan peringkat institusi. Tapi jika itu dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan akademik, kita akan kehilangan akar: identitas keilmuan yang berbasis budaya dan bahasa sendiri.

Bukan berarti kita menolak internasionalisasi. Tentu saja penting bagi dosen dan mahasiswa untuk terlibat dalam forum akademik global. Tapi kita juga harus sadar bahwa membangun tradisi akademik nasional tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan bahasa nasional. Jepang, Jerman, Prancis, bahkan Tiongkok tetap menggunakan bahasa ibu mereka untuk membangun keilmuan yang kuat dan berdaya saing internasional.

Bahasa untuk Semua, Bukan untuk Elit

Salah satu nilai penting dari penggunaan Bahasa Indonesia dalam karya ilmiah adalah demokratisasi akses ilmu pengetahuan. Jika karya ilmiah hanya ditulis dalam bahasa asing, maka siapa yang bisa membacanya? Tidak semua guru, pelajar, masyarakat umum, atau bahkan pembuat kebijakan daerah memahami bahasa Inggris akademik.

Pengetahuan seharusnya dibagikan seluas-luasnya, dan Bahasa Indonesia adalah jembatan terbaik untuk itu.

Apalagi banyak mahasiswa di luar Jawa atau daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang masih kesulitan mengakses referensi atau jurnal ilmiah karena kendala bahasa. Menulis karya ilmiah dalam Bahasa Indonesia bukan sekadar formalitas, tapi bentuk kepedulian terhadap pemerataan pendidikan dan literasi akademik di seluruh negeri.

Menuju Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmu

Badan Bahasa Kemendikbudristek sendiri telah menyusun Peta Jalan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional 2020--2045. Salah satu fokus utamanya adalah memperkuat fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu. Ini bukan utopia. Justru ini adalah peluang bagi generasi akademisi Indonesia untuk menjadi pionir dalam menumbuhkan kosakata ilmiah yang kontekstual, relevan, dan membumi.

Beberapa kampus mulai menunjukkan langkah positif. Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, masih mempertahankan kebijakan skripsi dan tesis ditulis dalam Bahasa Indonesia, kecuali untuk program internasional. Universitas Indonesia (UI) juga mendorong dosen-dosen untuk aktif menulis dalam jurnal nasional berbahasa Indonesia. Tentu hal ini patut diapresiasi dan dicontoh oleh kampus lain.

Bahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah: Memperkuat Keilmuan Berbasis Konteks Lokal

Salah satu masalah yang cukup serius di dunia akademik Indonesia adalah minimnya karya ilmiah yang secara eksplisit mengangkat konteks dan permasalahan lokal. Banyak mahasiswa dan dosen berlomba-lomba menulis topik yang "internasional", dengan pendekatan, metodologi, dan kerangka berpikir yang diambil mentah-mentah dari luar negeri---tanpa adaptasi terhadap realitas sosial Indonesia. Akibatnya, banyak karya ilmiah yang terasa jauh dari masyarakat, bahkan tidak relevan untuk menyelesaikan persoalan bangsa sendiri.

Bahasa memiliki peran sentral dalam membentuk logika berpikir. Ketika kita menulis dalam bahasa Indonesia, kita cenderung berpikir dalam cara yang lebih dekat dengan kultur, nilai, dan pengalaman sosial bangsa kita sendiri. Ini penting, karena keilmuan tidak pernah netral. Ilmu selalu lahir dari realitas, dan realitas Indonesia membutuhkan pendekatan yang khas, yang hanya bisa dimunculkan jika kita punya keberanian epistemik untuk mengembangkan ilmu dari dalam bahasa dan budaya sendiri.

Dalam sebuah diskusi yang saya ikuti bersama dosen-dosen di kampus negeri, ada yang menyampaikan kekhawatiran bahwa menulis dalam bahasa Indonesia membuat publikasi mereka sulit diterima di tingkat global. Tapi saya pikir ini cara pandang yang keliru. Ilmu pengetahuan yang kuat akan selalu menemukan pembacanya, apapun bahasanya. Bahkan jurnal-jurnal filsafat dan sastra di Prancis, Jerman, dan Rusia tetap eksis dan dihormati, walau tidak ditulis dalam bahasa Inggris.

Tantangan: Rendahnya Kebanggaan Akademik terhadap Bahasa Indonesia

Kita juga harus jujur: sebagian dari kita memang masih memiliki inferioritas bahasa---merasa bahwa Bahasa Indonesia tidak cukup akademik, tidak cukup "ilmiah". Padahal ini adalah akibat dari kebijakan dan kebudayaan akademik kita sendiri yang terlalu lama terfokus pada pencapaian kuantitatif: publikasi Scopus, peringkat Webometrics, dan akreditasi internasional. Semua itu penting, tapi jika tidak dibarengi dengan penguatan budaya ilmiah dalam bahasa sendiri, maka kita hanya akan menjadi penerjemah gagasan orang lain, bukan pencipta gagasan orisinal.

Dalam konteks ini, peran lembaga pendidikan sangat vital. Perguruan tinggi tidak boleh hanya menjadi "pabrik publikasi", tetapi harus menjadi pusat pengembangan ilmu yang berakar pada nilai dan identitas nasional. Maka kebijakan yang mendorong mahasiswa untuk menulis skripsi, tesis, dan disertasi dalam Bahasa Indonesia harus didukung penuh---bukan hanya sebagai bentuk ketaatan terhadap regulasi, tetapi juga sebagai strategi jangka panjang untuk memperkuat daya saing akademik nasional.

Sudah Ada Upaya Positif, Tapi Perlu Diperluas

Beberapa program dari pemerintah sudah mengarah ke perbaikan. Salah satunya adalah program peningkatan mutu jurnal nasional melalui Arjuna (Akreditasi Jurnal Nasional) dan SINTA (Science and Technology Index) yang mewadahi jurnal-jurnal berbahasa Indonesia agar lebih diakui dan digunakan oleh komunitas ilmiah. Bahkan Kemendikbudristek juga mengadakan berbagai pelatihan penulisan ilmiah dalam Bahasa Indonesia, termasuk kompetisi esai ilmiah dengan pendekatan populer.

Namun ini belum cukup. Harus ada kesadaran kolektif, termasuk dari rektorat, dosen pembimbing, reviewer jurnal, hingga pengelola perpustakaan kampus, untuk tidak mendiskriminasi karya ilmiah berbahasa Indonesia. Penggunaan Bahasa Indonesia harus dilihat sebagai pilihan akademik yang strategis, bukan keterpaksaan administratif.

Pendidikan Tinggi sebagai Garda Terdepan

Dalam sejarah bangsa, Bahasa Indonesia tidak tumbuh di ruang kosong. Ia lahir dari proses panjang perjuangan kultural dan politik. Sumpah Pemuda 1928 menjadi tonggak bahwa bahasa adalah alat perjuangan. Maka sekarang, ketika Indonesia memasuki era persaingan global, perguruan tinggi harus menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mengembangkan Bahasa Indonesia---bukan hanya sebagai bahasa komunikasi, tetapi juga sebagai bahasa ilmu, bahasa riset, dan bahasa inovasi.

Bayangkan jika semua hasil penelitian tentang budaya lokal, sistem pertanian tradisional, pemetaan bencana, hingga strategi pembangunan desa ditulis dalam Bahasa Indonesia yang mudah diakses. Maka ilmu pengetahuan tidak akan tinggal di menara gading, tapi akan kembali kepada rakyat yang menjadi sumber inspirasi dan penerima manfaatnya.

Membangun Keilmuan dari Bahasa Sendiri

Menulis dalam Bahasa Indonesia bukan berarti mengabaikan dunia internasional. Justru itu adalah langkah awal untuk memperkuat pijakan. Kita bisa tetap menerjemahkan karya terbaik kita ke dalam bahasa asing jika memang dibutuhkan. Tapi sebelum itu, mari kita hasilkan karya terbaik yang lahir dari konteks, pengalaman, dan pemikiran kita sendiri---dengan bahasa yang kita pahami sepenuhnya.

Pendidikan tinggi Indonesia tidak akan benar-benar berdaulat jika tidak memberi tempat utama bagi Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu. Mari kita kembalikan martabat bahasa sendiri, bukan dengan pidato, tapi lewat praktik nyata dalam dunia akademik.

Bahasa Indonesia adalah bahasa kita, bahasa ilmu kita, dan bahasa masa depan kita.

Studi Kasus: Ketika Bahasa Indonesia Diperjuangkan di Lingkungan Kampus

Untuk memahami realitas penggunaan Bahasa Indonesia di pendidikan tinggi, mari kita tengok beberapa contoh nyata.

Di Universitas Gadjah Mada (UGM), penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama penulisan skripsi dan tesis tetap dipertahankan di hampir semua program studi. Meski ada program internasional yang mengizinkan karya berbahasa asing, mayoritas tetap mengedepankan bahasa nasional. Bahkan dalam seminar hasil dan sidang akhir, mahasiswa diwajibkan mempresentasikan dalam Bahasa Indonesia, kecuali jika audiensnya terdiri dari mitra internasional. Ini mencerminkan komitmen UGM sebagai institusi pendidikan yang menjaga akar nasionalisme akademik.

Sementara itu, di beberapa kampus swasta, tekanan untuk tampil "internasional" kerap membuat dosen dan mahasiswa terdorong untuk menulis dan mempresentasikan karya ilmiah dalam bahasa Inggris. Dalam wawancara yang dilakukan tim peneliti dari LIPI (kini BRIN) pada tahun 2020, disebutkan bahwa banyak dosen merasa terpaksa mengabaikan Bahasa Indonesia demi memenuhi kewajiban publikasi internasional yang disyaratkan dalam kenaikan jabatan fungsional dan akreditasi institusi. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengikis tradisi akademik dalam bahasa nasional itu sendiri.

Yang lebih mengkhawatirkan, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kurang dari 35% disertasi doktor di Indonesia yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Sebagian besar ditulis dalam bahasa Inggris, meski substansi penelitiannya membahas fenomena lokal, bahkan studi etnografi tentang budaya Indonesia sendiri. Ini ironi besar: kita meneliti bangsa sendiri, tetapi kita tidak menuliskannya dengan bahasa bangsa sendiri.

Problem Struktural: Ketika Kebijakan Justru Melemahkan Bahasa Nasional

Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan ini bukan sekadar soal pilihan bahasa, melainkan dampak dari struktur kebijakan pendidikan tinggi yang bias terhadap ukuran global.

Indeksasi jurnal di pangkalan data internasional seperti Scopus dan Web of Science (WoS) sering dijadikan tolok ukur utama mutu akademik. Akibatnya, banyak dosen merasa bahwa menulis dalam Bahasa Indonesia di jurnal nasional tidak memiliki nilai yang cukup untuk mendongkrak jenjang karier akademik mereka. Penilaian dalam Sertifikasi Dosen, akreditasi BAN-PT, dan seleksi hibah penelitian masih terlalu menekankan aspek kuantitas publikasi internasional berbahasa asing.

Bahkan, dalam beberapa Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), insentif tunjangan kinerja dosen ditentukan berdasarkan jumlah artikel internasional yang terindeks. Maka tak heran jika motivasi untuk menulis dalam Bahasa Indonesia menjadi lemah. Bahasa nasional kalah pamor bukan karena tidak mumpuni, tetapi karena tidak diberi ruang dan insentif yang sepadan.

Pertanyaannya: apakah kita rela membiarkan nasib Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu ditentukan oleh sistem yang tidak menempatkannya dalam posisi strategis?

Strategi Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan?

Penting bagi kita untuk tidak berhenti pada kritik. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa diambil oleh berbagai pemangku kepentingan:

1. Kebijakan Internal Kampus

Rektorat dan dekanat dapat membuat regulasi yang mewajibkan penulisan tugas akhir dalam Bahasa Indonesia, kecuali dalam program internasional. Selain itu, seminar ilmiah dan kuliah umum bisa diprioritaskan dalam bahasa nasional, agar mahasiswa terbiasa menyampaikan argumen akademik dengan cara yang lebih kontekstual.

2. Revitalisasi Jurnal Nasional

Pengelola jurnal nasional harus terus meningkatkan kualitas editorial dan naskah, termasuk dengan menyesuaikan gaya selingkung agar tetap ilmiah tapi komunikatif. Jurnal-jurnal SINTA harus menjadi alternatif kredibel yang sejajar dengan jurnal asing, bukan hanya pelengkap administratif.

3. Literasi Akademik Bahasa Indonesia

Banyak mahasiswa dan dosen mengaku kesulitan menulis akademik dalam Bahasa Indonesia karena kurangnya pelatihan. Maka pelatihan menulis ilmiah berbahasa Indonesia perlu menjadi bagian dari kurikulum wajib, bukan kegiatan ekstrakurikuler belaka. Kelas "retorika ilmiah" atau "penulisan akademik Bahasa Indonesia" bisa diintegrasikan ke dalam mata kuliah metodologi penelitian.

4. Pengembangan Kosakata Ilmiah

Badan Bahasa perlu terus memperbarui dan menyosialisasikan glosarium ilmiah lintas disiplin. Banyak istilah asing bisa diadaptasi tanpa kehilangan makna, asalkan ada kemauan dan kesepakatan di kalangan akademisi.

5. Insentif Karya Ilmiah Berbahasa Indonesia

Pemerintah dan kampus harus memberi penghargaan yang layak bagi peneliti yang menulis dalam Bahasa Indonesia---terutama jika karya mereka berdampak pada kebijakan publik, pengembangan masyarakat, atau pendidikan di daerah.

Refleksi: Antara Bahasa, Ilmu, dan Kedaulatan

Kita tidak bisa berbicara tentang kedaulatan bangsa jika kita menyerahkan seluruh proses berpikir dan menulis kita pada bahasa yang bukan milik kita sendiri. Bahasa Indonesia bukan bahasa minor. Ia adalah bahasa yang dipakai lebih dari 270 juta orang, dengan potensi menjadi bahasa regional Asia Tenggara dan bahkan internasional. Tapi untuk itu, kita harus terlebih dahulu menghargainya di dalam negeri.

Bayangkan jika anak-anak kita di masa depan tumbuh di lingkungan akademik yang bangga menggunakan Bahasa Indonesia untuk menyampaikan riset tentang kecerdasan buatan, teknologi pangan, dan perubahan iklim. Bayangkan jika jurnal-jurnal ilmiah kita menjadi rujukan global karena keunikannya dalam menggali kearifan lokal dengan pendekatan ilmiah. Semua itu hanya mungkin jika kita mulai sekarang: menulis, berbicara, dan berpikir ilmiah dalam bahasa kita sendiri.

Penutup: Ini Bukan Soal Bahasa, Tapi Soal Masa Depan

Pentingnya Bahasa Indonesia di perguruan tinggi dan penulisan karya ilmiah bukan hanya isu linguistik. Ini adalah soal arah peradaban. Apakah kita ingin menjadi bangsa yang benar-benar berdiri di atas kaki sendiri---termasuk dalam ilmu pengetahuan---atau terus menjadi pengikut dalam struktur global yang tidak kita kuasai?

Kompasiana sebagai ruang publik literasi dapat menjadi bagian dari solusi. Dengan terus mendorong diskusi tentang Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu, kita sedang menanam benih kebangkitan intelektual yang lebih merdeka, lebih kontekstual, dan lebih manusiawi.

Menulis ilmiah dalam Bahasa Indonesia adalah sebuah pilihan ideologis. Ini bukan kemunduran, melainkan langkah maju yang berani. Karena bangsa besar tidak takut menggunakan bahasanya sendiri untuk menjelaskan dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun