Menuju Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmu
Badan Bahasa Kemendikbudristek sendiri telah menyusun Peta Jalan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional 2020--2045. Salah satu fokus utamanya adalah memperkuat fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu. Ini bukan utopia. Justru ini adalah peluang bagi generasi akademisi Indonesia untuk menjadi pionir dalam menumbuhkan kosakata ilmiah yang kontekstual, relevan, dan membumi.
Beberapa kampus mulai menunjukkan langkah positif. Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, masih mempertahankan kebijakan skripsi dan tesis ditulis dalam Bahasa Indonesia, kecuali untuk program internasional. Universitas Indonesia (UI) juga mendorong dosen-dosen untuk aktif menulis dalam jurnal nasional berbahasa Indonesia. Tentu hal ini patut diapresiasi dan dicontoh oleh kampus lain.
Bahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah: Memperkuat Keilmuan Berbasis Konteks Lokal
Salah satu masalah yang cukup serius di dunia akademik Indonesia adalah minimnya karya ilmiah yang secara eksplisit mengangkat konteks dan permasalahan lokal. Banyak mahasiswa dan dosen berlomba-lomba menulis topik yang "internasional", dengan pendekatan, metodologi, dan kerangka berpikir yang diambil mentah-mentah dari luar negeri---tanpa adaptasi terhadap realitas sosial Indonesia. Akibatnya, banyak karya ilmiah yang terasa jauh dari masyarakat, bahkan tidak relevan untuk menyelesaikan persoalan bangsa sendiri.
Bahasa memiliki peran sentral dalam membentuk logika berpikir. Ketika kita menulis dalam bahasa Indonesia, kita cenderung berpikir dalam cara yang lebih dekat dengan kultur, nilai, dan pengalaman sosial bangsa kita sendiri. Ini penting, karena keilmuan tidak pernah netral. Ilmu selalu lahir dari realitas, dan realitas Indonesia membutuhkan pendekatan yang khas, yang hanya bisa dimunculkan jika kita punya keberanian epistemik untuk mengembangkan ilmu dari dalam bahasa dan budaya sendiri.
Dalam sebuah diskusi yang saya ikuti bersama dosen-dosen di kampus negeri, ada yang menyampaikan kekhawatiran bahwa menulis dalam bahasa Indonesia membuat publikasi mereka sulit diterima di tingkat global. Tapi saya pikir ini cara pandang yang keliru. Ilmu pengetahuan yang kuat akan selalu menemukan pembacanya, apapun bahasanya. Bahkan jurnal-jurnal filsafat dan sastra di Prancis, Jerman, dan Rusia tetap eksis dan dihormati, walau tidak ditulis dalam bahasa Inggris.
Tantangan: Rendahnya Kebanggaan Akademik terhadap Bahasa Indonesia
Kita juga harus jujur: sebagian dari kita memang masih memiliki inferioritas bahasa---merasa bahwa Bahasa Indonesia tidak cukup akademik, tidak cukup "ilmiah". Padahal ini adalah akibat dari kebijakan dan kebudayaan akademik kita sendiri yang terlalu lama terfokus pada pencapaian kuantitatif: publikasi Scopus, peringkat Webometrics, dan akreditasi internasional. Semua itu penting, tapi jika tidak dibarengi dengan penguatan budaya ilmiah dalam bahasa sendiri, maka kita hanya akan menjadi penerjemah gagasan orang lain, bukan pencipta gagasan orisinal.
Dalam konteks ini, peran lembaga pendidikan sangat vital. Perguruan tinggi tidak boleh hanya menjadi "pabrik publikasi", tetapi harus menjadi pusat pengembangan ilmu yang berakar pada nilai dan identitas nasional. Maka kebijakan yang mendorong mahasiswa untuk menulis skripsi, tesis, dan disertasi dalam Bahasa Indonesia harus didukung penuh---bukan hanya sebagai bentuk ketaatan terhadap regulasi, tetapi juga sebagai strategi jangka panjang untuk memperkuat daya saing akademik nasional.
Sudah Ada Upaya Positif, Tapi Perlu Diperluas