Mohon tunggu...
arifhaikal
arifhaikal Mohon Tunggu... Mahasiswa

seorang mahasiswa di universitas malikussaleh

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pentingnya Bahasa Indonesia Pada Perguruan Tinggi Dan Penulisan Karya Ilmiah

29 Juli 2025   15:38 Diperbarui: 29 Juli 2025   15:38 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di Universitas Gadjah Mada (UGM), penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama penulisan skripsi dan tesis tetap dipertahankan di hampir semua program studi. Meski ada program internasional yang mengizinkan karya berbahasa asing, mayoritas tetap mengedepankan bahasa nasional. Bahkan dalam seminar hasil dan sidang akhir, mahasiswa diwajibkan mempresentasikan dalam Bahasa Indonesia, kecuali jika audiensnya terdiri dari mitra internasional. Ini mencerminkan komitmen UGM sebagai institusi pendidikan yang menjaga akar nasionalisme akademik.

Sementara itu, di beberapa kampus swasta, tekanan untuk tampil "internasional" kerap membuat dosen dan mahasiswa terdorong untuk menulis dan mempresentasikan karya ilmiah dalam bahasa Inggris. Dalam wawancara yang dilakukan tim peneliti dari LIPI (kini BRIN) pada tahun 2020, disebutkan bahwa banyak dosen merasa terpaksa mengabaikan Bahasa Indonesia demi memenuhi kewajiban publikasi internasional yang disyaratkan dalam kenaikan jabatan fungsional dan akreditasi institusi. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengikis tradisi akademik dalam bahasa nasional itu sendiri.

Yang lebih mengkhawatirkan, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, kurang dari 35% disertasi doktor di Indonesia yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Sebagian besar ditulis dalam bahasa Inggris, meski substansi penelitiannya membahas fenomena lokal, bahkan studi etnografi tentang budaya Indonesia sendiri. Ini ironi besar: kita meneliti bangsa sendiri, tetapi kita tidak menuliskannya dengan bahasa bangsa sendiri.

Problem Struktural: Ketika Kebijakan Justru Melemahkan Bahasa Nasional

Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan ini bukan sekadar soal pilihan bahasa, melainkan dampak dari struktur kebijakan pendidikan tinggi yang bias terhadap ukuran global.

Indeksasi jurnal di pangkalan data internasional seperti Scopus dan Web of Science (WoS) sering dijadikan tolok ukur utama mutu akademik. Akibatnya, banyak dosen merasa bahwa menulis dalam Bahasa Indonesia di jurnal nasional tidak memiliki nilai yang cukup untuk mendongkrak jenjang karier akademik mereka. Penilaian dalam Sertifikasi Dosen, akreditasi BAN-PT, dan seleksi hibah penelitian masih terlalu menekankan aspek kuantitas publikasi internasional berbahasa asing.

Bahkan, dalam beberapa Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), insentif tunjangan kinerja dosen ditentukan berdasarkan jumlah artikel internasional yang terindeks. Maka tak heran jika motivasi untuk menulis dalam Bahasa Indonesia menjadi lemah. Bahasa nasional kalah pamor bukan karena tidak mumpuni, tetapi karena tidak diberi ruang dan insentif yang sepadan.

Pertanyaannya: apakah kita rela membiarkan nasib Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu ditentukan oleh sistem yang tidak menempatkannya dalam posisi strategis?

Strategi Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan?

Penting bagi kita untuk tidak berhenti pada kritik. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa diambil oleh berbagai pemangku kepentingan:

1. Kebijakan Internal Kampus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun