Hadits Arba’in Nawawi ke enam
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَان بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَّ وِإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ – رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِمٌ
Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir R.A, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599]
Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, umat Islam dihadapkan dengan berbagai pilihan hidup yang tidak selalu mudah untuk dipilah antara halal dan haram. Dunia yang semakin kompleks seringkali menciptakan ruang abu-abu dalam banyak aspek kehidupan mulai dari makanan, transaksi keuangan, hingga konsumsi informasi digital. Dalam konteks inilah, ajaran Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam hadits Arbain Nawawi ke enam menjadi sangat relevan di Masa sekarang ini.
Dalam hadits ini mengajarkan prinsip kehati-hatian dalam setiap keputusan, agar seorang Muslim tidak terjerumus ke dalam perkara yang merusak keimanan secara perlahan. Dalam penulisan ini akan mengupas makna syubhat, wujudnya dalam kehidupan modern, serta pentingnya menjadikan sikap “meninggalkan yang meragukan” sebagai prinsip hidup yang membentengi diri dari kemaksiatan terselubung.
Kata “syubhat” berasal dari kata syubha, yang berarti samar atau tidak jelas. Dalam konteks fikih Islam, syubhat mengacu pada perkara yang tidak dapat dipastikan kehalalan atau keharamannya karena kurangnya bukti atau perbedaan pandangan ulama. Para ulama membagi hukum menjadi tiga kategori besar: halal, haram, dan syubhat. Syubhat menjadi semacam “zona abu-abu” yang bisa menggiring seorang Muslim pada ketidakjelasan hukum, yang dalam jangka panjang bisa mengikis ketakwaannya.
Menurut Imam Nawawi, dalam syarah hadits ke-6, menjelaskan bahwa meninggalkan syubhat adalah bagian dari menjaga kehormatan diri dan integritas beragama. Ketika seseorang sengaja menghindari hal-hal yang tidak jelas statusnya, maka ia telah menunjukkan bentuk nyata dari wara’ (kehati-hatian) dalam menjalani hidup. Bahkan menurut Imam al-Ghazali, hati yang sehat adalah hati yang peka terhadap hal-hal yang meragukan dan tidak mudah menyepelekan perkara kecil yang berpotensi dosa.
Dalam kehidupan modern, syubhat telah meresap ke berbagai aspek tanpa disadari oleh banyak Muslim. Dalam hal konsumsi makanan, misalnya, begitu banyak produk asing dengan bahan tambahan yang tidak jelas kehalalannya seperti gelatin dan perisa namun tetap dikonsumsi karena alasan kepraktisan atau harga murah. Begitu pula dalam transaksi keuangan, banyak orang tergiur investasi digital tanpa memahami akadnya, padahal bisa saja mengandung unsur riba atau gharar. Tak kalah penting, media sosial menjadi ladang syubhat baru, di mana informasi yang belum jelas kebenarannya dengan mudah disebarkan, bahkan konten vulgar sering dinikmati dengan mengatasnamakan hanya untuk hiburan. Lebih memprihatinkan lagi, dalam pergaulan sosial, banyak batasan syar’i dilanggar atas nama kebebasan dan persahabatan, seperti komunikasi bebas antara lawan jenis yang bukan mahram. Bahkan dalam hal kecil sekalipun, seperti di lingkungan pesantren, sering terjadi tindakan mengambil barang milik teman tanpa izin dengan dalih hanya sebentar dan akan dikembalikan lagi. Meski tampak sepele, perilaku yang dikenal sebagai ghosob ini tetaplah bentuk pengambilan hak orang lain secara tidak sah dan termasuk wilayah syubhat, apalagi jika dilakukan berulang-ulang tanpa penyesalan. Menurut saya, semua ini menunjukkan betapa pentingnya kesadaran dan kehati-hatian dalam menjalani hidup agar tidak tergelincir ke dalam yang haram lewat jalan syubhat yang tampak ringan, tapi berdampak besar bagi hati dan amal seseorang.
Perkara syubhat sering kali dianggap sepele di era sekarang. Banyak orang menganggap selama belum jelas haram, maka boleh saja dilakukan. Padahal, Islam sangat menekankan pentingnya kehati-hatian terhadap hal-hal yang meragukan. Syubhat bukanlah wilayah netral yang bebas dari konsekuensi. Justru, di situlah ujian keimanan dan ketakwaan seorang Muslim diuji.
Mengabaikan perkara syubhat bisa membawa dampak buruk, baik secara rohani maupun sosial. Rasulullah saw. memperingatkan bahwa hati bisa rusak jika seseorang tidak menjaga batas antara halal dan haram. Ketika seseorang sudah terbiasa menoleransi yang syubhat, maka ia akan lebih mudah tergelincir ke dalam yang haram tanpa rasa bersalah. Ini seperti seseorang yang terus mendekati batas, hingga akhirnya tanpa sadar telah melampauinya.
Dampaknya pun terasa secara sosial. Seseorang yang tak lagi peduli pada kejelasan halal dan haram bisa kehilangan integritas pribadi. Kepercayaan orang lain pun bisa runtuh. Bayangkan jika pelaku usaha tidak peduli kehalalan produknya, atau seorang pemimpin menoleransi praktik bisnis yang meragukan maka masyarakat akan kehilangan panutan. Dalam jangka panjang, sikap semacam ini bisa menciptakan krisis moral dalam skala luas, karena standar kebenaran jadi kabur dan relatif.