Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jejak Para Brahmana (2): Tiba di "Padhepokan Tuhan"

23 Juni 2015   13:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Masih di perempatan Sutomo. Bunyi klakson yang saling berbalas membuyarkan perbincanganku dengan pikiranku sendiri. Di kejauhan sana tampak lampu hijau traffic light sudah menyala. Pantas saja klakson pada dibunyikan. Para drivers berkeinginan cepat sampai  tujuan. Aku juga sama. “Ya Tuhaan…mudah-mudahan ngga kena merah lagii…”, gumamku mendoa.

Perjalanan dari barat (tempatku tinggal), menuju ke timur tempat padhepokan yang kucari, harus melewati Sebelas traffic light. Semuanya macet pada jam kerja. Dan ini adalah setopan ke lima. Di kota ini, orang Jawa menyebut traffic light adalah setopan. Lebih mudah memang! Dan masih ada enam setopan lagi. Tapi bagiku, 11 setopan itu bukan apa-apa dibanding jumlah setopan dan kemacetan yang harus dilalui oleh mereka yang tinggal di luar kota sana.

Apalagi sahabatku yang bernama Nuriyah. Saking cintanya pada profesi pendidik, jarak antara Sidoarjo-Surabaya, menjadi dekat saja. Tak kalah dengan bu Risma, Nuriyah juga perempuan hebat . Dalam kesehariannya, hampir tidak ada yang tidak ia serahkan kepada Allah. Soal suaminya yang bermain api, anaknya yang gemar membolos dari sekolah, perhatian yang dituntut darinya baik oleh keluarganya maupun keluarga suaminya, termasuk payudaranya yang pernah terserang tumor. Ia serahkan semuanya kepada Allah. Tangannya selalu diulurkan kepada siapapun yang memerlukan. Bahkan ia mampu membaca kawan yang memerlukan pertolongan sebelum itu diucapkan. Nuriyah selalu ringan mengulurkan tangan tanpa harus diminta. Aku bahagia melihatnya selalu tampak sehat dan semangat.

“Nuriyah…apa keinginanmu yang utama?”

Aku ingat betul pertanyaan itu pernah membuat kami menangis bersama. Sama sekali tak kuduga. Ia terbata menjawab dalam isaknya:

“Aku…aku…ingin pergi haji dan tidak ingin balik ke sini…aku ingin mati di sana. Biarlah aku mati saat berhaji…biar tak ada siapapun yang perlu direpotkan dengan makamku nanti..tidak suamiku, tidak anak-anakku dan juga tidak siapapun…aku sangat lelah…aku sudah mulai menabung untuk ke Mekkah…aku berdoa agar Allah perkenankan matiku di sana…di Mekkah.Lillahi ta’ala…”.


Aku tercekat. Tak ada sepatah kata pun mampu kuucap untuk merespon kelelahannya yang bertumpuk dirasakan selama ini. Aku hanya mampu merespon dengan pelukan erat dan deras air mata. Aku menyerahkan semua pada Allah saja. Kami menangis bersama dalam ruang Marketing itu. Ah… air mataku jadi meleleh lagi ingat peristiwa itu. Tuhan memang begitu kasih pada ciptaan-Nya.

***

 “Bu.., sudah sampai. Rumahnya yang mana..?”, Tanya pak taksi menyadarkanku.

Kulepas kacamata dan menghapus leleh air mata dengan selembar tissue.

“Stop di depan itu pak! Itu depan lagi dikit…!”

“Yang mana..?”

“Iya ituu..yang ada tulisannya padhepokan…”

Padhepokan Tuhan..?”, tanyanya tidak percaya.

“Iya…betul…, nah stop di sini pak..”

Aku ulurkan rupiah yang harus dibayar, menambahkan tujuh ribu lima ratus rupiah untuk tips, membuka pintu taksi, mengucapkan terima kasih, lalu turun. Kutuju pagar warna putih bangunan putih asri terlihat dari luar. Aku sudah di depan pagar, tidak berbalik sama sekali, namun bisa kurasakan pak taksi belum beranjak pergi. Ia masih mengamati tulisan dalam lampu neon terbaca “Padhepokan Tuhan”. “Hmm…jangankan bapak, aku sendiri juga tanda tanya besar...”, kataku dalam hati.

Pagar belum juga dibuka. Aku tetap di tempat, tidak bergeser. Dari situ aku bisa melihat rimbun anggrek ungu yang sedang berbunga indah di halaman. Halaman yang tidak terlalu luas itu, sangat terawat. Bunga warna-warni, rerumputan dan bebatuan tertata indah. Segar, bersih dan sangat alami. Pak taksi yang mengira aku diam-diam memperhatikan gerak-geriknya, akhirnya bergerak meninggalkan lokasi.

Syukurlah tidak terlalu lama. Seorang perempuan usia lebih lima puluhan, menuju pagar. Ia buka pagar dan mempersilakan aku masuk. Senyumnya sangat ramah. Pakaiannya serba putih.

“Masuk, Sis..”, sapanya.

Suaranya sangat lembut. (“Ya Tuhan, pagarnya ternyata tidak digembok…”, gumamku)

“Sister Sukriya, ada? tanyaku antusias.

“Mari masuk… sandalnya taruh di sini…”, jawabnya.

Ia hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin tidak mendengarku. Di-guide-nya aku melangkah masuk dengan sangat tenang.  

Tanpa kata-kata, aku seperti dipandu memahami aturan-aturan masuk padhepokan. Namun anehnya, aku sama sekali tidak merasa digurui, didikte atau diatur-atur. Sambil mengikuti langkahnya menuju ruang tamu, kuperhatikan dua orang perempuan sedang konsentrasi bekerja. Seorang sedang fokus menggunting merapikan tanaman. Seorang lagi mengisi ember dari selang kran air yang ada di sudut taman. Tangannya memegang kain pel. Ia pasti sedang membersihkan lantai. Mereka menengokku sebentar dan tersenyum sekali saja, lalu kembali bekerja. Senyumnya hanya beberapa detik, namun sangat tulus. Tidak ada pertanyaan basa-basi. Dua perempuan baya ini juga berpakaian serba putih. Begitu masuk, aku merasakan atmosfera yang sangat beda dengan di luaran tadi.  Benar-benar adhem, sejuk dan hening. Nyaris tak ada suara. Kami sampai di ruang tamu dan Sister mempersilakan duduk.

“Tunggu dulu ya Sis..”, ia lalu pamit masuk.

Tidak berapa lama datanglah seorang Sister muda. Sepertinya belum tiga puluh tahun.

 “Selamat pagi Sister…”, sapanya.

Dari suaranya…ini pasti Sister Sukriya. Suaranya kaya yang di telepon. (pikiranku mulai bekerja)

Ia ulurkan tangan kanannya dan aku berdiri menyambutnya.

“Sukriya!”, katanya singkat dengan senyuman manis.

“Raidha”, balasku tak kalah manis.

Kami ambil posisi duduk masing-masing di sofa abu-abu. Hanya duduk saja. Tidak ada suara. Aku diam. Sister Sukriya juga diam. Beberapa saat kemudian, kami saling menatap dan pecahlah senyum kami di sana.

“Jadi..?”, mendadak kami bersamaan mengucapkan kata “jadi”. Dan ini membuat kami tertawa, walaupun tetap dalam upaya menjaga keheningan dalam padhepokan.

“Silakan Sister dulu bicara…”, katanya.

“Tidak, Sister dulu saja silakan…”, kataku.

“Baiklah…, dari mana Sister Raidha tahu padhepokan ini?”

“Dari internet!”

“Dari internet?”

“Ya! Dari internet saya kenal padhepokan ini. Sudah lama sih. Sudah dua tahunan. Awalnya saya mencari-cari informasi tentang meditasi. Banyak saya dengar cerita tentang meditasi, baik melalui buku maupun internet. Sudah cukup lama saya ingin mengerti. Tapi jujur, saya takut tersesat. Sister perlu tahu, saya seorang muslim. Saya tidak mau jadi musyrik. Saya orangnya, sangat mencintai berdialog dengan Allah saja untuk segala persoalan dalam hidup saya. Saya suka sekali  shalat. Dari shalat-shalat itu, saya mencintai tahajud dengan sangat. Shalat pada sepertiga malam. Sister pernah dengar?”

Sister mengangguk dan saya lanjutkan cerita.

“Dalam tahajud, saya seperti berjumpa dan bicara langsung dengan Tuhan. Saat itu saya merasa Tuhan ijinkan saya apa saja. Termasuk menangis sampai puas dalam ‘pelukan’ Tuhan, adalah kesempatan yang setiap hari saya rindu-rindukan. Saya pasti menyesal bila sekali saja kehilangan tahajud saya. Saya pasti kangen sama Tuhan. Walaupun sedekat ini saya dengan Tuhan, tapi saya selalu saja merasa masih belum bersih. Masih banyak dosa. Sister tahu? Dahulu doa-doa saya adalah sebentar minta ampunan, lalu minta berkah, minta rejeki baik untuk saya maupun keluarga saya. Lalu saya minta Tuhan sukseskan seluruh mahasiswa saya. Saya sangat mencintai mahasiswa saya…saya pasti berlinang-linang mendoakan mereka, sebab saya merasakan beratnya hidup dan kesulitan yang mereka rasakan dalam kehidupan. Saya minta Tuhan jaga mereka dimanapun dan mengabulkan doa-doa mereka. Tapi makin ke sini…doa saya hanya satu..”.

“Apa itu?”, Tanya Sister.

“’Tuhan, saya ingin jadi perempuan baiiik. Perempuan yang baik pikirannya, baik hatinya, baik kata-katanya, baik tingkah lakunya…’, tapi itupun sekarang sudah berubah…”, jelasku.

“Maksud Sister Raidha?”

“Iya…makin ke sini, semua hal menjadi tidak lagi utama kecuali kesucian. Saya sendiri tidak mengerti Sister. Pelan-pelan saja doa saya berubah menjadi…: ’Tuhan, jadikan saya perempuan suci, suci pikirannya, suci hatinya, suci kata-katanya dan suci tingkah lakunya…’. Itu terus Sister. Buku-buku motivasi yang saya baca banyak bercerita tentang bagusnya meditasi. Maka saya tertarik ingin tahu. Namun dari berbagai sumber, padhepokan ini seperti magnet buat saya. Satu pelajaran yang dikirim  Sister 'Je' lewat e-mail, sangat memikat. Sister kenal beliau? Kabarnya, beliau tinggal di London…”

“Iya…beliau senior kami”

 “Sungguh Sister! Pengertian meditasi yang dipaparkan beliau membuka mata saya. Katanya, ‘Meditasi sejatinya berasal dari akar kata Latin, ‘medery’, yang artinya ‘healing’.  Saya baru ngeh kalau ternyata meditasi bermakna sedalam itu. Healing…saya suka kata itu! Penyembuhan! Penyehatan… dan yang disembuhkan dan disehatkan adalah jiwa… ehm.. Sister kenal juga dengan Sister Vinie?”

“Ya..beliau sedang di India sekarang..”

Pelajaran-pelajaran yang disampaikan luar biasa. Dari Sister Vinie-lah saya belajar tentang bagaimana mengelola ketidakbahagiaan. Akhirnya, saya jadi mengerti bahwa kebahagiaan harus ada bersama saya. Apapun kegiatan dan situasi yang saya hadapi, saya harus bahagia.  Kalau saya percaya kepada Tuhan, kalau saya  betul-betul yakin dan percaya bahwa Tuhan selalu ada untuk saya, membimbing saya, melindungi saya dalam keadaan apapun, maka tidak ada alasan saya untuk tidak bahagia. Kalau sudah bersama dengan Tuhan tapi kok saya masih sedih...masih takut dengan masa depan, ini pasti ada yang keliru di dalam saya..”, mendadak saya sadar lagi kalau sudah terlalu panjang cerita.

Sister yang tadi membukakan pagar, datang dengan membawa hidangan dengan baki. Diletakkannya sebuah kue dan segelas air putih di atas meja dan mempersilakanku untuk menikmati.

“Perkenalkan, ini Sister Aminah…”, kata Sister Sukriya.

Aku pun berdiri menyambutnya. Kami sama-sama tersenyum. Sejenak kemudian Sister Aminah, masuk kembali.

“Boleh saya minum, Sister?”

“Oiya.. kuenya juga silakan Sis…”

“Ini kue apa, Sister..?” tanyaku (sambil mencicipi)

“Roti pisang. Menu vegan. Kami buat sendiri. Ini adalah hari Sat Guru. Tuhan, disamping Beliau adalah Ayah kita, Beliau juga Guru dan Sat Guru. Setiap hari Sat Guru, kami buat kue untuk dimakan bersama setelah kami persembahkan kepada Beliau, Sang Pensuci”

“ Sat Guru itu apa Sister?”

“Pembimbing…Beliau pembimbing kita”

“Oooh…saya kira Guru dan Sat Guru itu sama artinya…” kujawab sambil minum.

“Sat Guru itu pembimbing…Beliau yang membimbing kita untuk ‘pulang’. Sekarang sudah saatnya kita untuk pulang, maka kita harus siap-siap. Bapak kita…Ayah kita Yang Satu, sekarang ini sudah datang. Menjemput kita untuk pulang. Kita semua sudah harus kemas-kemas”.

Glek…aku tersedak air putih, lalu terbatuk-batuk. Dalam pikiranku beradu berbagai pertanyaan bertentangan dengan kemuslimanku. “Ya Tuhan, apakah aku sedang tersesat masuk dalam padhepokan ilmu sesat? Mengapa ia panggil Tuhan sebagai Ayah? Bukankah Tuhan tidak mempunyai anak-anak?  Mengapa ia bilang Tuhan sudah datang dan sedang menjemput kematian-ku dan aku harus berkemas-kemas? Jangan-jangan candaan Samudra jadi kenyataan bahwa aku akan pindah agama.

Sister Sukriya menatapku tanpa berkata-kata. Ia terlihat tetap lembut. Tidak kaget dengan reaksiku. Bahkan ia tetap tersenyum dengan tenangnya. Aku memperhatikan kanan kiri. Tak ada suara. Sepi. Dua Sister yang tadi kulihat pun sudah tidak ada. Semuanya hening. Jam tangan menunjuk masih pukul delapan pagi. Dari ruang tengah sana, kudengar putaran sayup-sayup lagu lembut. Penyanyinya perempuan. Sepertinya lagu India, tapi sangat lembut. Aku belum pernah mendengarnya. Sepertinya itu lagu-lagu pujian. Pasti itu lagu rohani… Lagi-lagi aku bicara dengan diriku sendiri… Aroma dupa tercium sampai ke ruang tamu tempat kami diam sesaat. Angin pagi yang masih sejuk berhembus dari taman depan menerpa wajah kami melalui pintu ruang tamu yang terbuka. Sister Sukriya membenahi selendang putihnya yang bergeser dari pundaknya karena tiupan angin. Aku mengambil inisiatif bicara.

“Sister…, saya ingin belajar di sini”

“Oh ya?”

“Iya…saya ingin belajar. Padhepokan ini seperti magnet buat saya. Begitu banyak cerita tentang Tuhan telah saya peroleh, tapi saya sendiri tidak tahu mengapa saya begitu getol mencari padhepokan ini. Saya searching di Internet, apakah perguruan ini ada di Indonesia. Ternyata ada. Ya sudah..ke sinilah saya..Para guru di sini, ada berapa Sister?”

“Satu.”

“Satu? Sister sendiri?”

“Tidak. Ayah kita. Tuhan sendiri langsung yang mengajar kita. Beliau Guru kita”

Lagi-lagi, aku jadi salah tingkah. Mata dan tanganku mencari-cari sesuatu yang bisa kuraih untuk menutupi ketidakmengertianku. Mau minum lagi, tapi air putih dalam gelas aqua itu sudah kuhabiskan waktu tersedak tadi. Sepertinya Sister tahu hal ini. Ia berdiri dan mengambilkanku segelas lagi. Diulurkannya padaku gelas aqua yang sudah dibantu menusukkan sedotannya. Aku minum lagi.

Hmm…pantas saja mereka menamakannya Padhepokan Tuhan. Karena menurut mereka, Yang Mengajar adalah Tuhan sendiri. Lantas, apakah aku, Raidha, kemudian memutuskan untuk menjadi murid Tuhan, Sang Ayah? (Nantikan tulisan berikutnya!)

Salam bahagia dan terus berkarya!     

Sebelumnya: Jejak Para Brahmana (1)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun