Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Konstruksi Tradisional Maskulinitas dan Kesehatan Mental

10 Oktober 2022   19:15 Diperbarui: 14 Oktober 2022   12:45 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak laki-laki yang menangis akibat dirundung temannya. Sumber: Pexels via Kompas.com

Anak laki-laki yang dirundung dan tidak boleh menangis

Beberapa hari yang lalu, saat saya sedang berjaga di ruang instalasi gawat darurat atau IGD di Puskesmas tempat saya bekerja, seorang ibu yang menggandeng seorang anak dengan tatapan kosong datang kepada saya. Sang ibu mengatakan bahwa anaknya yang berumur 8 tahun dan duduk di kelas 2 SD ini sudah tak makan dengan porsi yang cukup, kurang lebih seminggu terakhir. Sang ibu menuturkan anak hanya makan satu hingga dua sendok lalu kembali tidur atau melamun. Sang ibu meminta agar anak dapat diinfus.

Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan informasi bahwa anak memiliki riwayat dirundung secara fisik oleh teman-teman sekelasnya. 

"Lakian kada boleh menangis, nak ai." Ucap sang ibu dalam bahasa banjar atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sang ibu mengatakan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis. Sambil berucap demikian sang ibu turut menangis. 

Saya menghela nafas sambil tersenyum kepada sang ibu. Seperti biasa tentu saja hal-hal yang membuat saya menghela nafas akan menjadi bahan edukasi yang panjang untuk pasien dari saya. Saya menyadari tak seluruh individu memahami bahwa hal-hal seperti salah satunya anak laki-laki tidak boleh menangis adalah salah satu bentuk tindakan yang represif dan merupakan salah satu bentuk toxic masculinity.

"Bu, siapa sih yang kalau dirundung tidak sedih? Ibu saja sedih hehe, apalagi yang mengalami perundungan kan. Keduanya, baik anak laki-laki atau perempuan berhak untuk sedih kok bu jika itu memang adalah hal yang membuat sedih. 

Kalau sedih, ya ekspresi yang wajar adalah menangis, kalau anaknya ketawa-ketawa justru tidak wajar kan bu." Saya menata kalimat saya sedemikian rupa sambil melempar senyum agar ibu tak tersinggung dan dapat menerima hingga menyerap apa yang saya sampaikan.

"Boleh kok sedih, tapi sedihnya jangan lama-lama ya, karena nanti kalau sedih, siapa hayo yang juga sedih?" Tanya saya kepada sang anak.

"Allah, Ibu, dan Bapak." Ucap sang anak. Saya dan sang ibu spontan bertatapan dan sambil melempar senyum campur haru, menyaksikan bahwa anak yang baru saja diuji dengan perundungan yang sebenarnya menyakitkan namun sering disepelekan banyak pihak. 

Seolah-olah perundungan di antara anak sekolah hanyalah sekedar permainan antar anak laki-laki, yang tak sama sekali terbersit di pikiran banyak pihak bahwa hal ini tak menutup kemungkinan akan berdampak pada kesehatan mental seorang anak. 

Definisi maskulinitas

Selama ini, masyarakat menyepakati bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda. Perbedaan terbentuk secara sosial. Ia tidak muncul secara alamiah namun dibangun dari waktu ke waktu. Pengkotak-kotakan gender dan/atau konstruksi terkait konsep gender merupakan istilah dari aspek sosiokultural yang mendasari perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Peran dan stereotip gender yang kaku dalam konstruksi sosial masyarakat patriarki semakin mempolarisasi terkait maskulinitas dan feminitas.

Menurut Pilcher pada tahun 2017, laki-laki diharuskan untuk memenuhi kriteria yang disebut dengan maskulinitas agar dapat disebut sebagai laki-laki. Maskulinitas adalah sekumpulan praktik sosial dan representasi budaya terkait dengan menjadi laki-laki. 

Konsep konstruksi gender dan termasuk dalam hal ini ialah yakni maskulinitas telah begitu melekat pada setiap aspek kehidupan manusia. Laki-laki dituntut untuk memiliki peran yang tak dimiliki perempuan serta perempuan dituntut untuk memiliki peran yang tak dimiliki laki-laki. 

Toxic masculinity dan kesehatan mental

Toxic masculinity yang tumbuh subur pada masyarakat patriarki pada akhirnya akan menekan kesehatan mental laki-laki. Laki-laki menjadi sosok yang egois, memiliki empati yang kurang, dan berperilaku kasar. Jika ada anak yang tidak bersesuaian dengan konsep maskulinitas yang mapan, anak laki-laki tersebut akan dikenakan sanksi sosial, seperti pengucilan dan penindasan sosial.

American Psychological Association (APA) memaparkan bahwa laki-laki yang disosialisasikan untuk dapat menyesuaikan diri dengan ideologi atau konstruksi maskulinitas tradisional lebih mungkin menderita masalah kesehatan mental dan fisik. 

Lingkaran setan konsep tradisional maskulinitas

Sudah saatnya kita semua memahami bahwa konsep tradisional maskulinitas dapat menjadi lingkaran setan untuk kondisi kesehatan mental seseorang. Saat seorang laki-laki dituntut untuk menjadi maskulin, ia dituntut untuk menjadi sosok yang tegar, tak boleh menangis, dan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri yang mana terasosiasi dengan keterhubungan sosial seorang laki-laki dalam hal menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya yang menjadi sangat rendah. 

Padahal, dukungan dari lingkungan sosial adalah termasuk hal yang esensial. Lalu, dengan konstruksi tersebut yang membuat seorang laki-laki dituntut menyelesaikan masalahnya sendiri, tak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah kesehatan mental di kemudian hari. Pada akhirnya, Saat laki-laki dihadapkan pada masalah kesehatan mental ini ia kembali dituntut untuk terus menjadi sosok yang diharapkan oleh masyarakat dalam konstruksi maskulinitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun