Mohon tunggu...
Rahmat Hidayat
Rahmat Hidayat Mohon Tunggu... owner Tinta yang bercerita dan RekGalauWae.co.id -

owner Tinta yang bercerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan yang Terbuat dari Air Mata

2 Oktober 2017   12:10 Diperbarui: 2 Oktober 2017   12:26 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

'Sial hujan!' dengan berat hati, aku menepikan kendaraan bermotorku, lalu berteduh di bangku taman. Tak ada orang lain di sini selain aku, orang-orang itu lebih memilih basah asal sampai ke rumah lebih cepat. Aku mendongak, langit terlihat begitu murung, senja menghilang disembunyikan awan-awan kelabu yang entah berasal dari negeri mana. Kata orang, hujan adalah sekumpulan rindu yang tak bisa lagi ditahan awan. Rintiknya adalah pesan yang belum tersampaikan. Maka dari itu, saat kita melihat hujan, kita akan mengenang seseorang. Air mata juga akan ikut menetes mengikuti hujan yang dingin.

Lengan kanan menopang dagu, netra memperhatikan rintik-rintik air yang jatuh ke daun talas. Dari setetes jadi segumpal, dari segumpal menjadi lebih besar, mengalir melewati tanah menuju parit, sebagian lainnya mengisi jalan-jalan rusak menjadi genangan. Yah, hujan selalu mengingatkanku pada seorang wanita, yang angkuh, namun selalu menjaga jarak saat bersamaku.Banyak hal yang membuat aku mundur, dan memilih mencintainya dari jauh. Dia orang berada, sedangkan aku tak punya. Namun di dunia nyata, perbedaan seperti itu yang kadang memberatkan, 'Ah, seandainya ....'

Kuperhatikan genangan yang tepat berada di depanku, membuatku berpikir, bahwa suatu saat nanti, air mata dan doa dapat mengikis hati-hati yang angkuh untuk disentuh. Sekeras apa pun hati menjauh, jika Tuhan sudah berkehendak, tak ada seorang pun yang bisa menolak.

Clak!

Setetes air masuk ke genangan. Sebentar, kenapa bayangan yang terpantul di sana kini bukan aku? Wajah seorang perempuan! Dia tersenyum di dalam sana, manis sekali. Wajahnya tyrus dengan lesung pipi, bola matanya berwarna biru dan rambutnya hitam bergelombang.

Kucubit lengan, terasa sakit. Berarti ini bukan mimpi, kuperhatikan lagi wajah wanita dalam genangan. Dia tetap tersenyum, perlahan tangan, kepala, lalu seluruh anggota tubuhnya keluar dari dalam genangan.

Aku mundur beberapa langkah. Perempuan itu terus menatapku. Aku ingin berlari menjauh, tetapi kaki ini tak bisa digerakkan, seperti tersihir oleh matanya.

"Perkenalan, namaku Dewi Gangga. Jangan takut, Ardi. Aku hanyalah penyampai pesan. Tubuhku terbuat dari air mata seorang perempuan, yang setiap malam, dalam sujudnya, berbincang pada Tuhan,  meminta agar kau menjadi pendamping hidupnya. Di, tak pernahkah kau mengerti bahasa isyarat yang diberikan tubuhnya yang memintamu agar kau bersedia menjadi imamnya?"

"Apa maksudmu, Dewi?"

"Kau memang masih polos soal perempuan. Mereka mahluk aneh yang sering menyimpan rahasia dibalik lipatan-lipatan pikirannya. Hati perempuan itu seperti genangan di depanmu, Ardi. Terlihat dangkal, namun tak akan pernah kau tau seberapa dalam. Bahkan kau akan tenggelam saat mencoba menyelaminya."

"Itu hanya genangan, mana mungkin aku bisa tenggelam."

"Kau yakin? Cobalah!"

'Menyelam di genangan yang tak lebih dalam dari mata kaki? Apakah ini sebuah mimpi buruk yang konyol?' Aku menggerutu dalam hati, karena tak mungkin mengucap hal seperti itu pada seorang perempuan.

Rasa penasaran itu muncul. Mendorongku kuat untuk mendekati genangan. Dengan ragu-ragu mulai kumasukan kepala, badan dan seluruh tubuh. Ini memang aneh, aku bisa berenang ke sana ke mari dengan leluasa dan ... aku bisa bernafas di dalamnya.

Aku menyelam terus, semakin ke dalam, hingga terlihat sebuah titik yang sangat terang. Perlahan kudekati dan ... hap! Aku mendapatkannya.

*****

'Hujan memainkan nada-nada kerinduan, rinainya seperti simponi, menyibak tira-tirai yang selalu ingin kututup, yang ingin kusembunyikan jauh di dalam hati. Di dalam lipatan-lipatan yang tak akan pernah tersentuh siapa pun.'


'Lelaki ceroboh, bodoh dan tak pernah peka! Harus kupanggil apa lagi kamu, Ar? Lelaki yang entah sejak kapan masuk ke otakku. Hingga bayanganmu terus mengelilingi pikiranku. Apa cinta ini salah? Apa penantian tanpa dasar ini masih pantas kuharapkan? Sedangkan tak ada sedikit pun cahaya yang dapat kusentuh sebagai harapan. Sejujurnya aku tak paham. Mengapa aku masih mengharap hatimu yang entah akan berlabuh di mana. Aku merindukanmu lebih dari apa yang terasa, lebih dari yang aku tau, bahkan sebelum aku sempat menyadarinya.'

'Aku mungkin egois karena belum bisa melupakanmu dan merelakan takdir. Tapi Ar, aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Meski tak terucap, meski tak pernah terkata, aku ... menginginkanmu. Mustahil terwujud memang, namun itu sudah jadi kebodohanku.'

'Andai ingatan hanya sekumpulan pasir di hidupku. Aku akan berusaha sekuat mungkin membuangnya, meski hanya menggunakan kedua tangan, aku akan mengangkatnya hingga aku tak bisa mengangkat apa pun.'

'Ar, rasa rindu ini telah menyekapku pada kehampaan; hingga aku terkunci. Ada debur-debur ombak yang menghantam pikiranku. Aku ingin air asin ini menghapus namamu, wajahmu, katamu, matamu, juga senyummu yang terus saja mengikatku pada resah, hingga tetes air mata pun menemani.'

'Harusnya aku sadar, saat tangan terbuka untuk memeluk, mata terbuka untuk saling menatap, telinga terbuka untuk mendengar. Saat itu pula aku harus menguatkan hati, untuk menerima kenyataan.'

Setelah takjub menyelam dalam genangan. Kini kulihat sekeliling, tempat ini bukan taman kota aku berteduh tadi. Ini kantor tempat aku bekerja, dan ini ruangan seorang wanita yang aku kenal, dan kudengar suara itu, suara hati yang terucap dengan perih. Pikiranku berkecamuk, sedangkan dalam dada ini ada gemuruh yang mengamuk.

Aku melangkah menuju sekat-sekat yang memisahkan pegawai satu dengan lainnya. Di sana Clara dan Icha tengah mengobrol berdua.

"Gimana hubungan kamu sama Ardi, Cha?"

"Masih temen, gak lebih, Clara."

"Kenapa gak nyoba jujur duluan? Waktu akan terus berjalan, jangan sampe, nanti kamu nyesel di akhir. Namun, Ardi emang kelihatan masih cuek soal wanita, apa lagi cinta."

"Dia memang masih polos. Biarlah, mungkin suatu hari nanti, Tuhan akan kirimkan hujan yang dapat membangunkannya, hingga dia sadar, aku sangat mencintainya."

"Semoga harapan kamu bisa cepet-cepet kejadian. Soal perjodohan yang direncanain orang tuamu, itu gimana? Apa waktunya masih lama?"

"Tinggal satu bulan lagi, tanggal 20, bulan depan perjodohannya. Seandainya Ardi masih seperti ini, aku harus siap nerima semuanya. Mungkin ini sudah takdir."

"Yang sabar, ya, Cha. Aku mau pulang, mau bareng?"

"Duluan aja, nanti aku nyusul."

Clara tak mengucap sepatah kata pun, hanya lambaian tangannya di depan pintu sebagai jawaban.

Jadi perempuan yang dimaksud Dewi adalah Icha. Teman sekantorku. Perempuan baik, yang selalu menunduk saat berbicara denganku. Wajahnya sering menjadi merah, apabila bosku menggodanya dengan mengatakan, Ardi punya fotomu di dompetnya, loh.

Perempuan yang memakai kerudung putih itu, mengeluarkan sebuah kertas dari dalam sakunya, lalu dibacanya dalam hati.

'Banyaklah berdoa, kepada-Nya. Mintalah jalan terbaik. Manusia akan selalu diuji. Kita hanya perlu bersabar dan bersyukur, setelah berusaha sebaik mungkin.'

Di dalam kertas tadi, terselip sebuah foto. Seorang laki-laki tengah berpose konyol, disandingkan perempuan berkulit putih, dengan hidung mancung.

"Seandainya cinta dapat memilih dengan pasti akan berlabuh di mana, Ar ... mungkin semua tak akan serumit ini." Disimpannya foto itu di atas meja, lalu perempuan itu melangkah pulang.

Aku ingin menyentuhnya, tapi Dewi menahanku.

"Kenapa, Wi? Bukankah ini yang ingin kamu tunjukan?"

"Tentu saja, tetapi di tempat ini, kita hanyalah bayangan."

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"

"Masukan foto di atas meja ke sakumu. Benar seperti itu. Sekarang bukalah matamu!"

"Maksudmu, Wi?"

"Sekarang, bukalah matamu!"

"Di, please bangun!" Kudengar suara perempuan itu diiringi isak tangis. Aku mencoba membuka mata, samar-samar kulihat ayah, ibu, Mbak Tari dan ... icha di sekelilingku.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku sadar, ini rumah sakit dengan cat warna putih dan bau obat-obatan yang tak pernah aku suka. "Kamu pingsan tadi di taman, Di. Kata Icha, kepalamu tengah masuk ke dalam genangan. Untung dengan cepat Icha bawa kamu ke sini, lalu menelpon kami. Jangan duduk! Badanmu masih lemah." Mbak Tari menerangkan padaku dengan panjang lebar.

Wajah-wajah cemas mereka begitu terlihat. Aku mencoba tersenyum, lalu meraba saku kananku.

"Makasih buat semuanya, Cha. Maafin semua kesalahan aku selama ini."

"Sama-sama, bukan salah kamu sebenarnya, Ar. Memang cuaca sedang buruk dan daya tahan tubuhmu yang down. Jangan salahin diri kamu. Cepet sembuh, Ar. Aku pamit pulang."

"Maksudku bukan itu, maaf buat ketidak pekaan aku selama ini. Mumpung di depan keluarga, aku pengen ngelamar kamu. Ini belum tanggal dua puluh, kan?" kukeluarkan selembar foto dari celana, sambil menggenggam tangannya.

"Dari mana kamu ...." mata icha terlihat sangat terkejut.

"Sebenernya, dari dulu aku juga sayang sama kamu. Sesudah sembuh nanti, aku sama keluarga pasti ke rumahmu, tapi maaf sebelumnya, jika mungkin semuanya akan sederhana."

Wanita itu mengangguk, lalu tersenyum sambil memegang jemariku.

"Oh iya, tadi pas kamu terjatuh. Tangan kamu lagi pegang ini, Ar." Icha menunjukan sebuah cincin dari kotak, yang terlihat seperti cahaya dalam genangan air, setelah aku berhasil menyelaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun