Satu setengah jam lamanya aku buntuti mobil Wak Imron hingga akhirnya tiba di kota tetangga. Meski tidak terlalu jauh, seumur-umur baru sekali ini aku menginjakkan kaki di kota ini.
Mobilnya terus berjalan menuju pasar sentral. Di pasar itu ia parkir di tempat yang agak terpencil dan tersembunyi.
Dari kejauhan aku terus mengamati dan menunggu. Sudah cukup lama menunggu, Wak Imron belum juga keluar dari mobil.
Setelah hampir 10 menit akhirnya dia keluar. Dia memakai pakaian yang sudah lusuh. Malah bisa dibilang kumal.
'Hmm... kenapa pakaiannya jelek begitu? Apa mungkin dia memang seorang tukang bangunan yang kalau kerja tentunya tak mungkin berpakaian bagus?" batinku.
'Ya, bisa jadi. Mungkin dia sedang ikut mengerjakan proyek pembangunan gedung di pasar ini,' batinku lagi.
Dia terus berjalan melewati gang-gang di pasar itu. Aku yang juga telah memarkir motor terus membuntuti dari jarak yang cukup jauh.
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Aktivitas pasar mulai menggeliat. Para pegawai toko sudah sibuk membuka toko dan menata dagangan mereka. Lapak-lapak kaki lima juga sudah digelar satu per satu. Matahari pun mulai terik menyengat.
Sesampainya di sebuah perempatan yang sebentar lagi pasti akan sangat ramai dan sesak, Wak Imron berhenti. Kemudian dia bersimpuh di salah satu sisi jalan.
Selanjutnya, dia memasang muka memelas sambil menengadahkan tangan pada orang-orang yang lalu lalang.