Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Uwakku Kaya tapi Suka Menghina

25 Juni 2021   20:30 Diperbarui: 25 Juni 2021   20:32 201 3

"Heh, Amin, apa Bapakmu ndak bisa berusaha cari uang selain ngutang lagi ngutang lagi, hah?" semprot Wak Imron sambil membanting seikat uang kertas di meja, persis di depan hidungku.


"Bacot Bapakmu aja bilang hutang. Paling nanti, kalau sudah jatuh tempo gak sanggup bayar! Selalu begitu, kan? Udah! Ambil aja, tuh, uang!" omelnya lagi sambil mendelik menyebalkan.


Aku cuma tersenyum getir menanggapi omelan Uwakku itu. Ketika "tangan di bawah" tentu cuma bisa pasrah makan omelan orang yang "tangannya di atas". Bahkan andai dicaci-maki sekalipun terpaksa ditelan saja mentah-mentah.


Ini memang sudah kesekian kalinya Wak Imron ngasih uang untuk bayaran uang semesterku. Aku tak punya pilihan lain selain minta bantuan abang tertua Bapakku itu.


Omelannya tadi memang tak salah. Betul, Bapak sering ngutang padanya dan selalu tak mampu membayar.


Bapak cuma buruh tani. Penghasilannya hanya cukup untuk makan kami sekeluarga sehari-hari. Itu pun Ibu ikut membantu-bantu. Untuk membiayai kuliahku jelas tak sanggup. Akhirnya, Wak Imron, yang boleh dibilang tajir untuk ukuran kampung ini, selalu jadi tempat Bapak mengadu tiap aku harus bayar uang semesteran.


Awalnya, Bapak sendiri yang datang ke rumah Wak Imron untuk meminjam uang. Selalu dikasih memang. Akan tetapi, Bapak tak tahan dengan omelan kakaknya itu.


Uwak selalu saja menyodorkan uang sambil 'ngedumel' dengan kata-kata kasar bahkan menghina.


Pernah dia bilang kami ini keluarga tak tahu diri. Udah jelas miskin, anak sok dikuliahkan pula.


Pernah pula Bapak dibilang bodoh, karena tak mampu mencari pekerjaan yang menghasilkan uang lebih banyak.


Apalagi kemudian, ketika Bapak tak pernah sanggup membayar hutang-hutang itu, kata-kata Uwak makin kasar menghunjam jantung.


Ketika datang untuk meminjam uang yang ketiga kalinya, dengan kecut Bapak bilang,


"Bang, kumohon pinjami lagi aku uang. Nanti semua Amin yang akan membayarnya setelah dia tamat kuliah dan bekerja."


Namun, kata-kata Bapak itu cuma membuat Wak Imron makin sadis omelannya.


"Kau menjanjikan pembayaran dari sesuatu yang belum pasti? Iya kalau si Amin itu dapat kerja, kalau nganggur gimana? Apa kau gak lihat sekarang sarjana banyak yang nganggur? Sudahlah, kau suruh berhenti aja dia kuliah. Jadi beban saja!"


Sejak itu, Bapak tak berani lagi datang. Sementara, aku sendiri juga tetap bertekat menyelesaikan kuliah hingga memperoleh gelar sarjana. Aku ingin mengangkat derajat keluargaku.


Mungkin Wak Imron benar, tidak ada jaminan aku akan dapat kerja bagus. Tapi, dengan menjadi sarjana, setidaknya aku punya peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.


Sejak itulah, tiap semester terpaksa aku sendiri yang harus datang "mengemis" ke rumah Wak Imron. Dan sejak itu pula, gantian aku yang menjadi sasaran caci makinya. Seperti yang barusan terjadi.


Tapi, tak apalah, ini memang karena aku yang berambisi ingin menjadi sarjana. Aku berusaha tutup telinga saja. Toh ini terakhir kalinya. Bulan depan Insya Allah aku wisuda.


*****


Selain kami, warga kampung lainnya sebenarnya banyak juga yang suka ngutang kepada Wak Imron. Tak jarang juga akhirnya dikasih cuma-cuma. Hanya saja, sama dengan yang Bapak dan aku alami, mereka semua juga menerima uang sambil menelan omelan dari mulut kasar Wak Imron.


Pak Rusdi, pegawai rendahan di kelurahan, misalnya, pernah dihina begini,


"Pak Rusdi ini pegawai, berseragam gagah, tapi tiap akhir bulan ngutang. Bikin malu saja."


Bu Surti, buruh cuci yang janda, kabarnya juga pernah dipermalukan ketika meminjam uang.


"Nih, Bu Surti, ambil aja uang nih. Saya yakin sampean gak akan sanggup bayar kalau saya utangin. Brapa sih, penghasilan tukang cuci," ujar Wak Imron sambil menyodorkan uang lima ratus ribu.


Tiap ketemu para pengangguran di pos ronda, pasti semua habis ia ceramahi.


"Dasar kalian ini pemalas, tak mau susah, tidak kreatif, dan macam-macam "kata mutiara" akan terlontar dari mulutnya.


*****


Wak Imron memang kaya. Rumahnya bertingkat dan dilengkapi perabotan mahal. Ada tv layar datar 60 inci, sofa set jati jepara nan mewah, kulkas dua pintu ukuran jumbo, dan lain-lain. Segala macam barang elektronik dan peralatan listik modern juga ada. Gelang emas sebesar besi cor juga bergelung sangat banyak di kedua belah tangan istrinya. Punya mobil dan beberapa motor. Pokoknya keluarganya termasuk yang paling mewah di kampung.


Namun, orang kampung tak pernah tahu, apa sebenarnya usaha atau pekerjaan Wak Imron sampai bisa sekaya itu. Dia tak punya sawah dan ladang. Juga tak punya usaha perdagangan apapun di kampung ini.


Orang-orang cuma tahu bahwa Wak Imron memang tiap habis subuh sudah berangkat kerja, dan pulangnya selalu sudah lewat isya. Tiap hari seperti itu. Hanya tiap Idul fitri dan Idul Adha saja dia libur.


Katanya dia bekerja keras di kota tetangga. Tapi entah apa kerja atau usahanya itu, tak ada yang tahu. Bahkan, kami yang masih kerabatnya pun tak tahu.


Yang pasti, semua orang tahu, uangnya banyak. Selalu bisa dihutangi meski dapat bonus omelan kasar terlebih dahulu. Tapi, siapa peduli? Yang penting kesulitan keuangan teratasi dulu. Ocehan Wak Imron masuk telinga kiri keluar telinga kanan saja.


Bisa jadi dia memang bekerja keras. Mungkin jadi tukang atau mandor di proyek-proyek property mewah yang gajinya besar. Sebab, dari hari ke hari kulit wajahnya terlihat makin legam dan renta. Mungkin karena kelelahan dan selalu terpapar terik matahari saat bekerja di lapangan. Entahlah.


*****


Sudah tiga bulan sejak wisuda, aku masih saja belum dapat kerja. Wak Imron makin sinis dan semena-mena mengata-ngatai Bapak dan diriku.


Dia bilang aku sudah buang-buang uang percuma puluhan juta untuk kuliah. Dia ramal aku ujung-ujungnya juga akan jadi buruh tani seperti Bapak.


Untuk sementara, aku memang ikut bantu-bantu Bapak menggarap sawah milik juragan Amir dengan sistem bagi hasil. Aku pikir, tak ada salahnya aku mengisi waktu meringankan beban kerja Bapak sambil terus berusaha mengirim surat lamaran kerja. Namun, kondisi itu rupanya menjadi bahan cemoohan Wak Imron.


"Kalau akhirnya cuma macul di sawah, buat apa kuliah," ejeknya.


Dia juga bilang, aku ini percuma saja sarjana, tapi sama saja dengan para pengangguran kampung, nggak kreatif. Cuma bisa mengirim-ngirim surat lamaran kerja.


*****


Meski sakit hati mendengar segala ocehan Wak Imron, aku tetap berpikir jernih. Dia benar, aku memang tak seharusnya cuma menunggu pekerjaan. Harus kreatif. Kalau bisa ciptakan lapangan kerja sendiri. Berdagang, berwirausaha, atau apapun. Tiba-tiba aku ingin tahu apa usaha atau pekerjaan yang digeluti Wak Imron sebenarnya.


Aku penasaran dan ingin menyelidikinya. Siapa tahu, bisa menjadi sumber inspirasi untukku.


Keesokan harinya, aku buntuti Wak Imron ke kota. Sengaja kusewa motor ojek Bang Jali seharian.


Satu setengah jam lamanya aku buntuti mobil Wak Imron hingga akhirnya tiba di kota tetangga. Meski tidak terlalu jauh, seumur-umur baru sekali ini aku menginjakkan kaki di kota ini.


Mobilnya terus berjalan menuju pasar sentral. Di pasar itu ia parkir di tempat yang agak terpencil dan tersembunyi.


Dari kejauhan aku terus mengamati dan menunggu. Sudah cukup lama menunggu, Wak Imron belum juga keluar dari mobil.


Setelah hampir 10 menit akhirnya dia keluar. Dia memakai pakaian yang sudah lusuh. Malah bisa dibilang kumal.


'Hmm... kenapa pakaiannya jelek begitu? Apa mungkin dia memang seorang tukang bangunan yang kalau kerja tentunya tak mungkin berpakaian bagus?" batinku.


'Ya, bisa jadi. Mungkin dia sedang ikut mengerjakan proyek pembangunan gedung di pasar ini,' batinku lagi.


Dia terus berjalan melewati gang-gang di pasar itu. Aku yang juga telah memarkir motor terus membuntuti dari jarak yang cukup jauh.


Jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Aktivitas pasar mulai menggeliat. Para pegawai toko sudah sibuk membuka toko dan menata dagangan mereka. Lapak-lapak kaki lima juga sudah digelar satu per satu. Matahari pun mulai terik menyengat.


Sesampainya di sebuah perempatan yang sebentar lagi pasti akan sangat ramai dan sesak, Wak Imron berhenti. Kemudian dia bersimpuh di salah satu sisi jalan.


Selanjutnya, dia memasang muka memelas sambil menengadahkan tangan pada orang-orang yang lalu lalang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun