"Pak Rusdi ini pegawai, berseragam gagah, tapi tiap akhir bulan ngutang. Bikin malu saja."
Bu Surti, buruh cuci yang janda, kabarnya juga pernah dipermalukan ketika meminjam uang.
"Nih, Bu Surti, ambil aja uang nih. Saya yakin sampean gak akan sanggup bayar kalau saya utangin. Brapa sih, penghasilan tukang cuci," ujar Wak Imron sambil menyodorkan uang lima ratus ribu.
Tiap ketemu para pengangguran di pos ronda, pasti semua habis ia ceramahi.
"Dasar kalian ini pemalas, tak mau susah, tidak kreatif, dan macam-macam "kata mutiara" akan terlontar dari mulutnya.
*****
Wak Imron memang kaya. Rumahnya bertingkat dan dilengkapi perabotan mahal. Ada tv layar datar 60 inci, sofa set jati jepara nan mewah, kulkas dua pintu ukuran jumbo, dan lain-lain. Segala macam barang elektronik dan peralatan listik modern juga ada. Gelang emas sebesar besi cor juga bergelung sangat banyak di kedua belah tangan istrinya. Punya mobil dan beberapa motor. Pokoknya keluarganya termasuk yang paling mewah di kampung.
Namun, orang kampung tak pernah tahu, apa sebenarnya usaha atau pekerjaan Wak Imron sampai bisa sekaya itu. Dia tak punya sawah dan ladang. Juga tak punya usaha perdagangan apapun di kampung ini.
Orang-orang cuma tahu bahwa Wak Imron memang tiap habis subuh sudah berangkat kerja, dan pulangnya selalu sudah lewat isya. Tiap hari seperti itu. Hanya tiap Idul fitri dan Idul Adha saja dia libur.
Katanya dia bekerja keras di kota tetangga. Tapi entah apa kerja atau usahanya itu, tak ada yang tahu. Bahkan, kami yang masih kerabatnya pun tak tahu.
Yang pasti, semua orang tahu, uangnya banyak. Selalu bisa dihutangi meski dapat bonus omelan kasar terlebih dahulu. Tapi, siapa peduli? Yang penting kesulitan keuangan teratasi dulu. Ocehan Wak Imron masuk telinga kiri keluar telinga kanan saja.