Ketika datang untuk meminjam uang yang ketiga kalinya, dengan kecut Bapak bilang,
"Bang, kumohon pinjami lagi aku uang. Nanti semua Amin yang akan membayarnya setelah dia tamat kuliah dan bekerja."
Namun, kata-kata Bapak itu cuma membuat Wak Imron makin sadis omelannya.
"Kau menjanjikan pembayaran dari sesuatu yang belum pasti? Iya kalau si Amin itu dapat kerja, kalau nganggur gimana? Apa kau gak lihat sekarang sarjana banyak yang nganggur? Sudahlah, kau suruh berhenti aja dia kuliah. Jadi beban saja!"
Sejak itu, Bapak tak berani lagi datang. Sementara, aku sendiri juga tetap bertekat menyelesaikan kuliah hingga memperoleh gelar sarjana. Aku ingin mengangkat derajat keluargaku.
Mungkin Wak Imron benar, tidak ada jaminan aku akan dapat kerja bagus. Tapi, dengan menjadi sarjana, setidaknya aku punya peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Sejak itulah, tiap semester terpaksa aku sendiri yang harus datang "mengemis" ke rumah Wak Imron. Dan sejak itu pula, gantian aku yang menjadi sasaran caci makinya. Seperti yang barusan terjadi.
Tapi, tak apalah, ini memang karena aku yang berambisi ingin menjadi sarjana. Aku berusaha tutup telinga saja. Toh ini terakhir kalinya. Bulan depan Insya Allah aku wisuda.
*****
Selain kami, warga kampung lainnya sebenarnya banyak juga yang suka ngutang kepada Wak Imron. Tak jarang juga akhirnya dikasih cuma-cuma. Hanya saja, sama dengan yang Bapak dan aku alami, mereka semua juga menerima uang sambil menelan omelan dari mulut kasar Wak Imron.
Pak Rusdi, pegawai rendahan di kelurahan, misalnya, pernah dihina begini,