Bisa jadi dia memang bekerja keras. Mungkin jadi tukang atau mandor di proyek-proyek property mewah yang gajinya besar. Sebab, dari hari ke hari kulit wajahnya terlihat makin legam dan renta. Mungkin karena kelelahan dan selalu terpapar terik matahari saat bekerja di lapangan. Entahlah.
*****
Sudah tiga bulan sejak wisuda, aku masih saja belum dapat kerja. Wak Imron makin sinis dan semena-mena mengata-ngatai Bapak dan diriku.
Dia bilang aku sudah buang-buang uang percuma puluhan juta untuk kuliah. Dia ramal aku ujung-ujungnya juga akan jadi buruh tani seperti Bapak.
Untuk sementara, aku memang ikut bantu-bantu Bapak menggarap sawah milik juragan Amir dengan sistem bagi hasil. Aku pikir, tak ada salahnya aku mengisi waktu meringankan beban kerja Bapak sambil terus berusaha mengirim surat lamaran kerja. Namun, kondisi itu rupanya menjadi bahan cemoohan Wak Imron.
"Kalau akhirnya cuma macul di sawah, buat apa kuliah," ejeknya.
Dia juga bilang, aku ini percuma saja sarjana, tapi sama saja dengan para pengangguran kampung, nggak kreatif. Cuma bisa mengirim-ngirim surat lamaran kerja.
*****
Meski sakit hati mendengar segala ocehan Wak Imron, aku tetap berpikir jernih. Dia benar, aku memang tak seharusnya cuma menunggu pekerjaan. Harus kreatif. Kalau bisa ciptakan lapangan kerja sendiri. Berdagang, berwirausaha, atau apapun. Tiba-tiba aku ingin tahu apa usaha atau pekerjaan yang digeluti Wak Imron sebenarnya.
Aku penasaran dan ingin menyelidikinya. Siapa tahu, bisa menjadi sumber inspirasi untukku.
Keesokan harinya, aku buntuti Wak Imron ke kota. Sengaja kusewa motor ojek Bang Jali seharian.