Nanti Adalah Janji yang Tak Berbohong
Di meja makan yang dilingkari senja,
sepotong tanya jatuh dari mulut kecil:
Ayah aku ingin dibelikan mainan?
Dan waktu pun diam, mendengarkan kami saling menatap.
Ayah tak buru-buru menjawab,
Bunda menyalin doa dalam piring yang belum selesai.
"Nanti," katanya, tapi tidak dengan hampa.
Ia menghamparkan kisah tentang angka yang menari,
tentang pengeluaran yang seperti angin: tak terlihat, tapi terasa.
Bukan ‘nanti’ yang sekadar menunda,
tapi ‘nanti’ yang sedang belajar setia.
Ia seperti bulan tak selalu utuh,
tapi selalu kembali, perlahan dan penuh maksud.
Anak kami, engkau bukan ditipu.
Engkau sedang diajak menyelami aliran waktu
yang tak selalu bisa dipercepat.
Kami sedang menanam benih harap,
di tanah sabar dan hujan keterbukaan.
Tabu itu tentang uang dan kekurangan,
kami sulap jadi taman percakapan.
Karena cinta bukan soal memberi segalanya,
tapi menjelaskan kenapa belum bisa.
Engkau tahu, wahai cahaya kecil kami,
rezeki tak datang karena kita mau,
tapi karena ia tahu kapan kita siap.
Dan kesiapan itu,
seringkali adalah bentuk tertinggi dari cinta yang diam-diam belajar pasrah.
Kami tak ingin kau tumbuh dengan kepalsuan,
tapi dengan pemahaman:
bahwa kehidupan bukan soal punya atau tidak,
tapi cara kita saling menggenggam di saat masih kosong.
Ayah, bunda, dan engkau
adalah tiga titik yang menggambar rumah.
 Jika salah satu mengeluh,
 dua lainnya akan menanggung langit.
Maka kami bicara,
bukan dengan angka, tapi dengan hati.
Kami tidak sedang menunda,
kami sedang membangun:
dirimu… agar lebih mengerti,
dan kami… agar lebih layak kau percaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI