Seorang teman yang membaca postingan saya kemarin tentang 'Tempat Nyaman untuk Menulis' bertanya setengah protes, 'masak sih kamu ga pernah menulis di kafe?'
Memang, beberapa kali saya bersama komunitas pemerhati budaya setiap bulan sekali diskusi tentang budaya dan adat istiadat serta sejarah Malang di sebuah kafe di Tumpang, Malang. Sebuah kafe ala desa.
Salah satu keunikan kafe tersebut adalah menyediakan buku-buku untuk dibaca di tempat.
Diskusi dan bacaan tentang budaya tersebut kadang saya tulis untuk sebuah postingan.
Jika di Malang hanya sebulan sekali maka saat di Jogja boleh dikatakan hanya beberapa kali dalam empat tahun terakhir. Hanya pada saat ingin suasana berbeda.
Selama ini hanya pada sebuah kafe di sekitar Taman Sari. Pilihan pada kafe ini karena di sini juga menjual buku-buku humaniora dan sastra yang berbobot.
Hari ini saya mengunjungi kafe ini sehubungan ketertarikan akan tema yang diusung Kompasiana tentang jejak dan sejarah masa kolonial.
Dan yakin di sini ada buku-buku yang bisa menjadi salah satu referensi dan ide untuk menulis.
Bicara kafe dengan konsep penyediaan buku untuk dibaca di tempat atau dijual bagi pengunjung memang sudah ada sejak 25 tahun terakhir.
Setidaknya pernah saya lihat di beberapa mall di Surabaya dan Malang, serta Jogja. Hanya saja konsep ini belum begitu familiar bagi masyarakat pecinta buku sehingga kafe semacam ini berganti konsep. Selain itu, akibat bergesernya buku cetak menjadi e-book membuat buku cetak kurang laku. Maka berimbas juga pada keberadaan kafe.
Keunggulan kafe dengan konsep perpustakaan dan toko buku selain menyediakan buku berbobot juga diputar lagu-lagu lembut mendayu. Biasanya genre musik jazz dan blues. Jarang lagu-lagu sweet dan, rock 'n roll, slow rock. Apalagi hard rock. Sehingga ketenangan untuk menggali ide dan menulis tetap terjaga.
# Nama kafe-kafe di atas sengaja tidak saya tulis agar tidak menjadi iklan tersembunyi.Â