Mohon tunggu...
ardias rinda
ardias rinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sentani

"Biarkanlah dirimu dibentuk oleh tarikan yang kuat dari sesuatu yang kamu cintai." -Jalaluddin Rumi-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cahaya

6 Maret 2021   14:03 Diperbarui: 6 Maret 2021   14:12 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/arunimasahai

Dalam kondisi orang awwam, cahaya lebih menunjukkan sesuatu yang lebih menunjukkan ketampakan. Sedangkan, sesuatu yang tampak itu biasanya hal yang suplemen, sebab sesuatu yang mungkin tampak bagi yang lain dan mungkin pula tersembunyi dari yang lain. Diantara media mengetahui yang paling kuat dan hebat bagi orang Awam adalah panca indera, diantaranya yaitu indera pengelihatan.

Suatu materi bagi indera terbagi menjadi tiga golongan antara lain, pertama, yang tidak terlihat dengan sendirinya, seperti jisim-jisim gelap; kedua, yang terlihat dengan sendirinya namun tidak bisa menjadi sebab terlihatnya zat selain dirinya, seperti jisim-jisim bersinar seperti bintang dan jisim api saat tidak menyala; ketiga, apa yang lainnya menjaditerlihat dengan sebab adanya dirinya, seperti matahari, bulan, api yang membara dan lampu. Dalam kategori yang tiga ini namanya sebagai Cahaya. Namun terkadang ia sematkan sebagai nama bagi hal yang terpancar dari jisim-jisim bersinar ini.dari hal.[1]

Cahaya dalam dunia materi dapat diperoleh dari lilin, lampu, bintang, bulan, matahari dan lain sebagainya. Ada yang memiliki cahaya sendiri seperti matahari, tetapi ada pula yang memiliki cahaya yang merupakan pantulan dari cahaya yang lain misalnya bulan. Demikian pula dengan cahaya spiritual.

Matahari memancarkan cahayanya keseluruh penjuru dunia tanpa membeda-bedakan objek pancarannya. Siapapun yang berada dalam posisi yang tepat, pastilah akan menikmati kehangatan dari sinarnya, selama ia siap untuk menikmatinya. Sedangkan, bagi yang menghindar, tidak akan memperolehnya karena ia berada dengan berada diposisi yang dipilihnya, bahkan boleh jadi dia tidak akan menikmatinya sama sekali dan tidak akan mampu menerima cahaya itu kalau dia tidak menjadi bahan yang tembus pandang.[2]

 

ختم الله علي قلوبهم و علي سمعهم و علي أبصارهم غشاوة و لهم عذاب عظيم (البقرة:7)[3]

Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, pengelihatan mereka telah tertutup dan mereka akan mendapat azab yang berat. (Al-baqarah:07)

Secara umum, cahaya adalah nama bagi sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan juga merupakan sebab dapat terlihatnya cahaya yang lain.

Akal sebagai Cahaya

Selain dari pada yang telah terpapar diatas, manusia memiliki panca indera, perasaan dan akal. Menurut Imam Al-Ghazali, akal lebih tepat untuk disebut sebagai cahaya dibandingkan dengan pengelihatan indera pengelihatan (cahaya mata) yang dimiliki manusia karena ketinggian nilainya yang tersucikan dari tujuh kekurangan antara lain :

·         Ia bisa melihat yang lainnya, tapi tidak bisa melihat dirinya.

·         Ia tidak bisa melihat objek yang jauh darinya, maupun yang dekat.

·         Ia tidak bisa melihat objek dibalik hijab.

·         Ia hanya mampu melihat objek luar sesuatu dan tidak dapat menembus kedalaman substansinya.

·         Hanya sebagai eksisten saja yang mampu dilihatnya dan bukan keseluruhan.

·         Ia hanya mampu melihat hal secara terbatas tanpa mampu melihat sesuatu yang tanpa batas akhir.

·         Ia sering terjebak dalam kesalahan pandangan. Yang besar terlihat kecil, yang jauh terlihat dekat, yang diam terlihat bergerak dan yang bergerak malah terlihat diam.

Patut kita ketahui, bahwa akal meski melihat, tapi seluruh hal yang terlihat oleh akal tidak berada dalam satu tingkatan.[4]

Cahaya-cahaya langit yang menjadi sumber sempalan cahaya-cahaya bumi, jika harus diurutkan dari aspek saling keberasalan, maka yang terdekat dengan sumber pertamalah yang paling berhak menyandang nama cahaya, karena keberadaannya di tingkatan yang paling tinggi.

------------------

1] Al-Ghazali, Kiblat Cahaya , (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), 5

[2] M. Quraish Shihab, Dia dimana-mana: Tangan Tuhan dibalik setiap fenomena,( Jakarta: Lentera Hati, 2004), 47-48

[3]Kementrian Agama RI, Al-Quran Al Karim, (Bandung: Marwah,2009),  3

[4] [Al-Ghazali, Kiblat Cahaya , (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002),  9-11

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun