·     Ia tidak bisa melihat objek yang jauh darinya, maupun yang dekat.
·     Ia tidak bisa melihat objek dibalik hijab.
·     Ia hanya mampu melihat objek luar sesuatu dan tidak dapat menembus kedalaman substansinya.
·     Hanya sebagai eksisten saja yang mampu dilihatnya dan bukan keseluruhan.
·     Ia hanya mampu melihat hal secara terbatas tanpa mampu melihat sesuatu yang tanpa batas akhir.
·     Ia sering terjebak dalam kesalahan pandangan. Yang besar terlihat kecil, yang jauh terlihat dekat, yang diam terlihat bergerak dan yang bergerak malah terlihat diam.
Patut kita ketahui, bahwa akal meski melihat, tapi seluruh hal yang terlihat oleh akal tidak berada dalam satu tingkatan.[4]
Cahaya-cahaya langit yang menjadi sumber sempalan cahaya-cahaya bumi, jika harus diurutkan dari aspek saling keberasalan, maka yang terdekat dengan sumber pertamalah yang paling berhak menyandang nama cahaya, karena keberadaannya di tingkatan yang paling tinggi.
------------------
1] Al-Ghazali, Kiblat Cahaya , (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), 5
[2] M. Quraish Shihab, Dia dimana-mana: Tangan Tuhan dibalik setiap fenomena,( Jakarta: Lentera Hati, 2004), 47-48
[3]Kementrian Agama RI, Al-Quran Al Karim, (Bandung: Marwah,2009), Â 3
[4] [Al-Ghazali, Kiblat Cahaya , (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), Â 9-11