Mohon tunggu...
Ardi Ardiyanto
Ardi Ardiyanto Mohon Tunggu... Insinyur - Mahasiswa Doktoral

Kompasiana sebagai sarana menyampaikan uneg-uneg

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajaran dari Pengalaman Menjadi Minoritas Muslim di Amerika Serikat

18 Mei 2019   17:45 Diperbarui: 21 Mei 2019   03:19 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Maria Teneva on Unsplash

Hidup di negara yang mayoritas penduduknya memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda mengajari saya banyak hal. Pelajaran tersebut terutama berkaitan dengan pentingnya sikap toleransi terhadap pemeluk keyakinan yang berbeda.

Saya merupakan seorang Warga Negara Indonesia muslim yang dilahirkan dari orang tua berlatar belakang suku Jawa. Hidup di Indonesia sebagai seorang Jawa dan muslim menjadikan saya sebagai bagian dari Double Majority. Menjadi bagian dari double majority karena 87% penduduk Indonesia adalah muslim dan sekitar 40.2% penduduk Indonesia bersuku Jawa.

Selain itu, saya lahir dan tumbuh di Yogyakarta. Di mana dari kecil saya hidup di lingkungan yang masih menjalankan tradisi jawa dan keislaman. Walhasil, pengalaman saya sebagai minoritas sangat-sangatlah kecil.

Hal tersebut berubah 180 derajat ketika saya menjalani kuliah S3 di Amerika Serikat (AS). Dari seorang yang merupakan bagian dari double majority, kini saya merupakan bagian dari minoritas muslim di AS.

Berdasarkan data dari Gallup.com, sebuah lembaga polling terkenal di AS, persentase penduduk muslim di Amerika adalah sekitar 0.8%. Sebuah angka yang sangat jauh jika dibandingkan dengan populasi muslim di Indonesia.

Pelajaran pertama yang saya dapati ketika menjadi bagian dari minoritas berkaitan dengan pentingnya rasa aman ketika beribadah. Ketika menjalankan Shalat di ruang-ruang publik seperti perpustakaan atau taman-taman kota, terkadang terbesit di pikiran saya. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang yang tidak suka dengan muslim lalu menghunjamkan pisau atau menembak ke arah saya.

Memahami perasaan tidak aman yang terkadang melintas di pikiran membuat saya berpikir. Apakah teman-teman minoritas di Indonesia merasakan hal yang sama dengan yang saya alami saat ini? Berkaca dari hal tersebut, saya menyadari bahwa umat mayoritas perlu untuk selalu memberikan rasa aman kepada umat minoritas.

Selanjutnya, di beberapa lowongan yang saya baca di sini, saya sering melihat beberapa institusi secara jelas menyatakan bahwa mereka tidak akan membeda-bedakan pelamar berdasarkan suku, jenis kelamin, ataupun keyakinan. Karena saya pribadi tidak ingin menerima perlakuan diskriminasi karena ras ataupun agama, 100% saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut.

Menurut saya, lebih penting untuk mengetahui skills apa yang dimiliki pelamar ketimbang melakukan stereotyping berdasarkan ras dan agama mereka.

Hal ini menjadi sangat kontras dengan realitas di Indonesia yang saya lihat akhir-akhir ini. Beberapa unit usaha secara terang-terangan menuliskan bahwa pelamar harus memiliki keyakinan tertentu walaupun pekerjaan yang dilamar tidak terkait dengan praktek ibadah.

Oleh karena itu, besar harapan saya agar para pelaku usaha mencoba mengesampingkan ras dan agama dalam proses perekrutan karyawan. Hal ini menjadi penting karena tidak ada orang yang ingin menerima perlakuan diskriminasi.

Pada beberapa kesempatan di bulan Ramadan ini, saya melihat anak-anak muslim di Amerika dihadapkan dengan realitas bahwa mereka harus duduk berdekatan dengan teman mereka yang memiliki keyakinan berbeda.

Walhasil, mereka yang puasa harus dengan sabar melihat teman mereka dengan santainya melahap makanan di sebelah mereka. Karena orang tua mereka memberikan pemahaman yang baik, tentunya hal tersebut bukan menjadi hal besar yang mempengaruhi ibadah puasa mereka.

Berkaca pada situasi tersebut, terkadang saya heran kenapa beberapa dari kita berusaha memaksa warung makan untuk tutup selama bulan ramadan. Bukankah seharusnya bukan menjadi masalah besar apabila kita melihat orang lain makan sementara kita puasa karena sudah niat yang sungguh-sungguh untuk menjalankan ibadah puasa?

Selain itu, pasti ada ibu hamil, orang sakit, dan orang tua lemah yang mungkin membutuhkan makanan dari warung makan tersebut. Lha kalau warungnya ditutup, mereka beli makan dari mana? hehe.

Selain beberapa hal di atas, pelajaran lain yang saya dapatkan adalah sebagai minoritas kita adalah pintu terluar yang menghubungkan orang di luar dengan apa yang ada di dalam keyakinan kita.

Di beberapa kesempatan, beberapa teman yang memiliki keyakinan berbeda atau bahkan tidak memiliki agama bertanya tentang Islam kepada saya.

Sebagai konsekuensinya, persepsi dan pemahaman mereka mungkin sangat bergantung pada figur saya. Oleh karena itu, sebagai minoritas penting untuk selalu menjaga perilaku kita agar tidak merusak nama baik keyakinan yang kita anut.

Selain itu  menjadi sangat penting juga untuk kita memiliki pemahaman yang baik dan benar terhadap keyakinan yang kita anut sehingga apa yang kita sampaikan ke orang luar merupakan sesuatu yang tepat.

Beberapa hal di atas adalah hal yang bisa saya ceritakan terkait pengalaman saya ketika menjadi bagian dari minoritas muslim di Amerika Serikat.

Semoga ke depannya sekembalinya di Indonesia, saya dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang menjunjung tinggi nafas toleransi tanpa mengesampingkan koridor agama dalam bertoleransi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun