Mohon tunggu...
Dr Akhmad Aflaha SE MM
Dr Akhmad Aflaha SE MM Mohon Tunggu... Dosen

Akademisi, penulis, dan praktisi pendidikan yang dikenal melalui karya-karyanya di bidang pengembangan karakter, manajemen strategik, dan pemberdayaan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Ketika Program Berjalan Tanpa Nafas: Mengapa Banyak Program Pemerintah Gagal?"

28 Juli 2025   06:45 Diperbarui: 28 Juli 2025   06:44 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Program demi program telah diluncurkan pemerintah, mulai dari desa hingga kota. Harapan disematkan, anggaran dikucurkan, dan narasi kesejahteraan rakyat terus digaungkan. Namun, tak sedikit program yang kandas, mati pelan-pelan atau bahkan tak sampai menyentuh rakyat kecil. BUMDes, PIP, KIP, BOS, Ketahanan Pangan, KUD, Sekolah Rakyat, Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga yang terbaru: Koperasi Merah Putih. Apakah semua akan bernasib sama?

1. BUMDes: Potensi Besar, Manajemen Lemah

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) digagas sebagai motor ekonomi desa. Namun, data Kemendesa tahun 2022 menunjukkan dari 74.961 BUMDes yang tercatat, hanya sekitar 20% yang aktif dan memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi desa. Sisanya mati suri, salah urus, atau hanya jadi simbol administratif.

Masalah utama: minimnya SDM, tiadanya pelatihan manajerial, dan dominasi elite lokal. Banyak BUMDes dikelola tanpa perencanaan matang, tidak adaptif terhadap pasar, bahkan tak tahu apa yang dijual dan kepada siapa.

2. PIP & KIP: Program Pendidikan yang Kurang Terarah

Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) semestinya menjadi penyelamat pendidikan anak-anak miskin. Namun laporan Tempo (2023) menunjukkan bahwa banyak dana KIP tidak sampai ke siswa tepat waktu. Bahkan, ada temuan siswa mampu yang menerima, sedangkan yang benar-benar membutuhkan tak terdaftar.

Sumber masalahnya klasik: data tidak diperbarui, sistem distribusi tidak transparan, dan minim pengawasan. Akibatnya, program ini lebih sibuk mengurus administrasi ketimbang mengejar kualitas pendidikan.

3. BOS: Anggaran Besar, Efektivitas Dipertanyakan

Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) mengalir triliunan rupiah tiap tahun. Namun, dalam laporan BPK 2021 ditemukan penyimpangan penggunaan dana BOS di berbagai daerah: mulai dari pembelian fiktif hingga pengadaan barang tidak sesuai harga pasar.

Sayangnya, audit tak dibarengi dengan tindakan nyata. Banyak sekolah merasa terjebak prosedur administratif ketat, tapi tanpa pelatihan penggunaan anggaran yang efektif.

4. Ketahanan Pangan: Program Banyak, Panen Masalah

Ketahanan pangan menjadi isu strategis, tapi banyak program pemerintah yang justru menyisakan ironi. Program food estate di Kalimantan dan Sumatera, misalnya, disorot Kompas (2023) karena merusak lingkungan, menggusur masyarakat adat, dan akhirnya gagal panen.

Kementerian Pertanian juga pernah mengucurkan dana bantuan bibit dan pupuk yang tak tepat sasaran. Di banyak kasus, lahan pertanian gagal ditanami karena perencanaan asal-asalan dan ketidaksesuaian dengan kondisi lokal.

5. KUD: Dari Simbol Swadaya ke Simbol Kemandekan

Koperasi Unit Desa (KUD) dulunya ikon kemandirian ekonomi desa. Namun kini, mayoritas KUD hanya tinggal papan nama. Banyak dari mereka mati karena kalah bersaing dengan ritel modern, tersandera utang, dan kehilangan kepercayaan dari anggotanya.

Data dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 50% KUD tidak aktif dan hanya mencatatkan aktivitas terbatas. Tak ada inovasi, tak ada regenerasi kepemimpinan, dan minim adaptasi digital.

6. Sekolah Rakyat: Gagasan Hebat, Tanpa Nafas Jangka Panjang

Sekolah rakyat hadir dari keresahan terhadap sistem pendidikan formal yang mahal dan tidak menyentuh akar sosial. Namun sebagian besar program ini hanya bertahan 1--3 tahun, lalu hilang tanpa jejak.

Penyebabnya: tidak adanya sistem pembiayaan jangka panjang, minimnya kader pengajar, dan kebijakan pemerintah daerah yang kurang mendukung. Sebagian besar hanya hidup karena semangat relawan---yang tanpa dukungan struktural akan kelelahan sendiri.

7. Makan Bergizi Gratis (MBG): Gagasan Populis, Masalah Logistik

Program MBG menjadi janji politik yang menyentuh. Namun di lapangan, seperti dilaporkan CNBC Indonesia (16 Juli 2024), banyak daerah belum siap. Infrastruktur dapur umum, distribusi makanan, bahkan SDM-nya belum tersedia. Beberapa sekolah hanya menyajikan makanan ringan tanpa gizi memadai.

Lebih memprihatinkan, laporan lapangan menunjukkan adanya ketimpangan kualitas antar wilayah, ketidaktepatan waktu distribusi, dan bahkan kecurigaan pengadaan yang tidak transparan.

Sumber: CNBC Indonesia, 2024

8. Koperasi Merah Putih: Jangan Jadi KUD Versi Baru

Koperasi Merah Putih hadir dengan semangat nasionalisme ekonomi. Namun, belum genap setahun berjalan, muncul kekhawatiran akan berulangnya kegagalan seperti KUD: birokratis, tidak fleksibel, dan rawan salah urus.

Tanpa model bisnis yang kuat, sumber daya yang kompeten, dan sistem pengawasan profesional, Koperasi Merah Putih bisa sekadar jadi simbol gerakan ekonomi rakyat, namun mandek di tengah jalan. Potensi memang besar, tapi jika pengelolaan mirip dengan koperasi di masa lalu, hasilnya akan sama: mati tanpa jejak.

Refleksi: Apa Akar Masalahnya?

Semua program ini punya niat baik. Tapi niat saja tak cukup. Program pemerintah sering kali:

1. Tidak berbasis data real di lapangan.

2. Minim evaluasi jangka panjang dan hanya mengejar serapan anggaran.

3. Kurang partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan.

4. Rentan politisasi, terutama menjelang pemilu.

5. Tidak disertai literasi manajerial dan pelatihan keberlanjutan.

Harapan: Bukan Tambah Program, Tapi Perbaiki yang Ada

Kita tak butuh program baru setiap tahun. Kita butuh perbaikan menyeluruh terhadap program yang sudah ada. Evaluasi berkala, keterlibatan masyarakat sipil, transparansi anggaran, dan profesionalisme pengelolaan adalah kuncinya.

Jangan biarkan program-program ini jadi monumen kegagalan berikutnya. Karena rakyat tidak butuh janji lagi---mereka butuh perubahan yang nyata dan berkelanjutan.

Bukan berarti semua program harus dicemooh. Tapi saat program gagal berulang kali, publik berhak curiga: apakah ini benar untuk rakyat, atau hanya proyek politis yang dikemas secara populis?

Sebagai rakyat yang peduli, tugas kita bukan sekadar bertepuk tangan saat peluncuran, tetapi mengawal terus agar niat baik tidak berubah menjadi sekadar janji kosong.

"Hell is full of good meanings, but heaven is full of good works."

-- George Herbert

Catatan Penulis:

Tulisan ini bukan untuk menyudutkan pemerintah, tapi sebagai bentuk cinta terhadap negeri. Agar kita tidak lagi terus mengulang kegagalan dengan nama dan bungkus yang berbeda.

Jika Anda memiliki cerita, pengalaman, atau solusi dari lapangan, silakan tinggalkan komentar atau kirim tanggapan di kolom bawah. Mari kita awasi bersama agar program rakyat benar-benar berpihak pada rakyat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun