Tentu! Berikut versi final artikel utuh untuk Kompasiana, menggabungkan gaya reflektif serius dari artikel pertama dengan sentuhan "korupsi bikin endas gembor" dari ungkapan teman
Korupsi Itu Multi Tafsir, Tapi Jelas Bikin Endas Gembor
"Korupsi itu bikin endas gembor."
Begitu kata teman saya suatu pagi, saat kami sama-sama menyimak berita korupsi yang melibatkan oknum penting. Kalimat itu terdengar kasar, tapi entah kenapa justru terasa paling jujur. Sebuah ungkapan yang lahir dari rasa frustrasi atas kenyataan bahwa korupsi di negeri ini bukan hanya terjadi, tapi juga seperti di-"maklumi".
Korupsi memang bukan sekadar kejahatan finansial. Ia adalah pengkhianatan terhadap harapan rakyat, pencurian kepercayaan publik, dan penyebab utama kenapa banyak kepala---alias endas---warga Indonesia hari ini serasa gembor, berat, penuh tekanan, dan tidak karuan.
Korupsi Itu Multi Tafsir
Jika kita lihat dari sudut hukum, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 sudah mengatur dengan detail apa itu korupsi: suap, gratifikasi, penyalahgunaan jabatan, penggelapan anggaran, dan lainnya.
Tapi dalam praktik, banyak yang menyiasati hukum itu dengan kemasan legalitas yang rumit. Gratifikasi jadi "uang terima kasih", mark-up jadi "biaya administrasi", dan suap pun bisa menjelma jadi "tali silaturahmi". Di sinilah letak multitafsirnya. Korupsi bisa dipahami secara sempit (sebatas pelanggaran hukum), atau luas (pelanggaran moral dan etika), tergantung siapa yang bicara dan untuk kepentingan apa.
Korupsi Moral dan Budaya yang Dibiasakan
Lebih berbahaya dari korupsi uang adalah korupsi moral. Ini tidak tercantum di pasal hukum, tapi efeknya terasa dalam kehidupan sehari-hari. Saat jabatan diwariskan secara nepotistik, saat kekuasaan digunakan untuk kepentingan keluarga, dan saat keadilan dijadikan alat tawar politik --- itulah bentuk korupsi moral yang kian membusuk tapi dibiarkan.